Sabtu, 21 Mei 2011

(a) Harus adanya pembagian tugas di dalam kehidupan umat Islam, yaitu ada yang menjadi militer dan ada yang menjadi pendidik/da’i.
(b) Calon terdidik/santri harus memperdalam agama Islam, yang esensinya terdiri atas: masalah spiritual, moral, politik,ekonomi dan sosial.
(c) Para santri yang telah tamat, wajib menyebarkan Islam (dakwah) dan berjuang untuk berdirinya masyarakat Islam. (Sholeh Iskandar; tanpa tahun : 2).
3. Pondok Pesantren dan Perjuangan Politik di Indonesia.
Para pedagang dan muballigh Muslim telah datang dipantai Barat Sumatera pada 674. (Thomas W.Arnold; 1981 : 317-318); dan pada 717 di Sriwijaya. (Hamka; 1976 : 55). Waktu-waktu masuknya umat Islam ke Indonesia tersebut terjadi dalam priode pemerintahan Islam Bani Umayyah di Syria, yang berkuasa (661-750) dengan daerah kekuasaanya meliputi seluruh Timur Tengah.
Pola Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang dan muballigh Muslim dengan cara membebaskan para budak pribumi, menikahi wanita-wanita pribumi, bersahabat dengan para penguasa setempat, berdakwah dengan lisan dan perbuatan. Pola Islamisasi tersebut dilakukan selama berpuluh-puluh tahun sampai terbentuknya masyarakat Islam yang luas, dan atas persetujuan mereka, maka berdirilah Pemerintahan Islam (Kesultanan) dengan kepala negaranya disebut Sultan.
Berdirinya Kesultanan Perlak di Aceh timur, berlaku pola Islamisasi seperti yang disebutkan di muka: Islam datang di Perlak pada 1028, dan proses Islamisasi berlangsung selama 50 tahun; kesultanan Perlak baru berdiri pada 1078.
Umat Islam datang ke Indonesia bukan sebagai penakluk (penjajah) seperti yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugis serta Belanda pada abad XVI atau menggunakan pedang sebagai alat Kristenisasi di Indonesia. (Thomas w. Arnold; 1981 : 319).
Oleh karena itu berdirinya pemerintahan Islam (kesultanan) di Indonesia menempuh pola sebagaimana yang telah disebutkan di muka; seperti antara lain: berdirinya kesultanan Perlak dan Samudera Pasai di Aceh timur; Kesultanan Demak di Jawa Tengah; Kesultanan Ternate di Maluku; Kesultanan Banjar di Kalimantan; Kesultanan Gowa di Sulamesi.
Berdasarkan fakta sejarah yang telah diungkapkan tersebut, maka peranan ulama sebagai muballigh didalam berdirinya kesultanan-kesultanan di Indonesia sangat penting. Bahkan setelah kesultanan-kesultanan itu berdiri, para ulama ada yang menjabat sebagai Sultan seeperti Sultan Malkuz Zahir II dari Samudera Pasai, Raden Fatah (santri dari Sunan Ampel) menjadi Sultan Demak; ada yang menjadi penasehat Sultan seperti Syeikh Yusuf dengan Sultan Ageng Tirtayas dari Banten; Pangeran Antasari dengan Sultan Hidayat dari Banjarmasin; Habib Abdurrahman al Zahir dengan Sultan keturunan Sultan Iskanda Muda Mahkota Alam; dan banyak lagi yang lain.
Selain itu, sebagaimana telah diungkapkan dalam sejarah pondok pesantren, sebagian besar berdirinya kesultanan Islam di Indonesia, didahului oleh berdirinya pondok pesantren sebagai sarana dakwah atau sarana Islamisasi masyarakat. Karenanya keterlibatan ulama dan santri didalam perjuangan politik atau jihad/perang, khususnya perang menentang serangan dan pengkhianatan musuh-musuh Islam baik yang dilakukan oleh penguasa Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Kristen maupun Shinto.
Kemudian di bawah ini kami akan menuliskan data-data tentang peran kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara yang dipimpinnya dari serangan musuh; yaitu antara lain:
a. Kesultanan Perlak yang berdiri sejak 1078, disaat sultan Mahdum Alaiddin Malik Ibrahim Asyah berkuasa (1275-1280) telah diserang oleh Raja Sriwijaya-Budha dari Palembang. (Abubakar Atjeh : 1982 : 14).
b. Kesultanan Samudera Pasai yang berdiri sejak 1297; dan disaat Sultan Zainal Abidin (masih kanak-kanak) berkuasa pada 1349 telah diserang oleh Raja Siam-Budha dari Burma, dan takluk kepadanya. Selang beberapa tahun kesultanan Samudera Pasai diserang pula oleh Raja Majapahit-Hindu dari Jawa. Nasib malang tak kunjung berhenti, sehingga pada 1405 kesultanan Samudera Pasai diserang oleh Kaisar Cina-Kong Hu Cu di bawah pimpinan Jenderal Cheng Ho. Dan Samudera Pasai menjadi negara protektorat Kekaisaran Cina sampai 1434. ( Hamka; 1976 : 78-85 ).
c. Raden Fatah (santri dari sunan Ampel dan anak dari Prabu Wijaya V-Raja Majapahit-dari isteri Muslimah (Campa – Samudera Pasai) telah diangkat menjadi Adipati di Bintor (Demak) pada 1477 oleh Raja Majapahit. Pada tahun 1478 Sri Girindrawardana (menantu Prabu Wijaya V) dari Jenggala (Doha) melakukan kudeta terhadap Raja Majapahit (Prabu Wijaya V) tidak berhasil, karena ditumpas oleh Raden Fatah (Adipati Demak). Dengan kemenangan ini maka Raden Fatah diangkat menjadi Sultan Demak. Kemudian Sri Girindrawardana yang masih berkuasa di Jenggala berkonspirasi dengan Portugis di Malaka untuk menaklukan Kesultanan Demak. Akibatnya Sultan Raden Fatah menaklukkan Sri Girindrawardana pada 1525. (Saifuddin Zuhri; 1981 : 242-246).
Selanjutnya invasi penguasa kolonial Kristen Eropa, baik Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris ke Indonesia, menurut Th.Muller Kruger (Guru besar Sekolah Tinggi Kristen Jakarta) dan d Albuquerque (Komandan pasukan Portugis di Malaka pada 1511) adalah melanjutkan “Perang Salib”, selain mereka melakukan kolonialisasi, juga melakukan Kristenisasi (Th.Muller Kruger; 1959 : 18-19; dan Hamid Algadri; 1984 : 76-77).
a. Begitu penguasa kolonial Portugis berkuasa di Malaka 1511 dan berkonspirasi dengan Sri Girindrawardana Jenggala, maka Sultan Raden Fatah dari Demak mengirimkan pasukannya menyerang Portugis di Malaka 1513. ( Nugroho Notosusanto; 1977 : 16 ).
b. Tatkala Gubernur de Masquite (penguasa kolonial Portugis di Malaka) membunuh secara keji Sultan Khaerun dari Ternate pada 1570, maka Sultan Babullah, putera Sultan Khaerun, melakukan “Perang Sabil” (perang suci Islam) secara besar-besaran terhadap Portugis, sehingga pada 1575 penguasa kolonial Portugis di Maluku menyerah kalah tanpa syarat. (Hamka;1976 : 219-230).
c. Kesultanan Makasar yang berdiri sejak 1605, dan tatkala sultan Hasanuddin berkuasa, maka penguasa kolonial VOC Belanda yang berkuasa di Batavia (Jakarta) , telah berulang kali menyerang kesultanan Makasar: pertama pada 1633, Sultan menang; kedua pada 1654, Sultan menang lagi; ketiga pada 1666, pasukan kolonial VOC Belanda menang (Saifuddin Zuhri; 1981 : 442). Dan pada 1667, Sultan Hasanuddin tertangkap. (Hamka; 1976 : 298-299).
d. Sultan Cakraningrat I (Trunojoyo) dari Madura dibantu oleh santri-santri Sunan Giridan Karaeng Galesong (mantan komandan pasukan Sultan Hasanuddin Makasar) berperang mewalan pasukan kolonial VOC Belanda dan pasukan Amangkurat II dari Mataram pada 1676, pasukan Sultan menang. Tetapi pada perang 1680, Sultan tertangkap dan Karaeng Galesong gugur, pasukan santri Giri di bunuh semua. (Hamka;1976 : 318-327).
e. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dan Syeikh Yusuf dari Makasar (menantu Sultan Ageng) pada 1680 telah menyerang pasukan kolonial VOC Belanda di Banten Pasukan Sultan Ageng terdesak sampai ke Lebak (Rangkasbitung), dan dalam pertempuran 1683, Sultan Ageng dan Syeikh Yusuf tertangkap; Sultan Ageng ditahan di Jakarta dan wafat 1695 dan Syeikh Yusuf dibuang ke Afrika Selatan (jajahan Belanda).
f. Pangeran Diponegoro, yang bergelar “Sultan Erucokro Sayidina Panatagomo Khalifah Rasulullah”, bersama kiayi Mojo (Solo), Pangeran/Kiayi Abu Bakar (Kedu) dan Alibasa Abdul Musthafa (Sentot) dari Yogyakarta berperang dengan pasukan kolonial Hindia Belanda selama lima tahun (1825-1830). Perang dahsyat, dengan terbunuhnya ribuan pasukan Sultan Diponegoro dan dimenangkan oleh Belanda dengan khianat dan keji, menangkap Sultan Diponegoro dan memenjarakannya di Menado, lalu di Makasar dan wafat sebagai syuhada pada 1855, setelah 25 tahun mendekam dalam penjara dan dalam usia 70 tahun. (Sagimun MD; 1986 : 255-303).
g. Perang Padri yang dipimpin oleh para ulama seperti antara lain Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh, dan berjumlah delapan orang ulama serta dikenal dengan gelar “Harimau Nan Selapan”, kemudian dipimpin oleh Imam Bonjol (santri dari Tuanku Nan Renceh) telah melakukan perang maraton dahsyat melawan pasukan kolonial Hindia Belanda dan penghulu adat di Sumatera Barat selama 28 tahun (1809-1837). Ribuan pasukan Padri telah terbunuh, tetapi kemenangan berada dipihak Belanda dengan cara licik dan khianat dengan menangkap Imam Bonjol pada 1837 dan memenjarakannya : mulai di Cianjur (Jawa Barat), dipindahkan ke Ambon dan terakhir di Menado serta wafat sebagai syuhada di penjara pada 1864, setelah menjalani hukuman 27 tahun lamanya. (Mardjani Martamin; 1985 : 88-108; dan Muhammad Radjab; 1964 : 313-337).
h. Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, seorang ulama dan bergelar “Khalifatul Mukminin” didampingi oleh Kiayi Demang Lehmana, Kiayi Haji Buyasin, Kiayi Lang Lang, Pangeran Amrullah mulai berperang melawan pasukan kolonial Hindi Belanda pada 1859 di Banjarmasin. Perang maraton dan kejam, yang meluas seluruh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar