Selasa, 17 Mei 2011

maupun bangunan, terlarang membunuh orang-orang yang tidak terlibat perang. Tetapi apabila musuh menyerang dengan system bumi hangus, membunuh penduduk sipil, menghancurkan fasilitas umum, maka tentara Islam harus melakukan perlawanan yang seimbang dan setara.
1.        Hukum Perang
Hukum perang baru diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw pada periode Madinah, setelah Rasulullah saw hijrah dari Mekkah ke Yastrib (Madinah) dan Rasulullah saw memperoleh kekuatan / kekuasaan politik (622-632 M).
a.       Kekuatan hukumnya
Secara umum hukum berperang adalah fardhu kifayah yaitu fardhu/kewajiban bisa lepas dari tanggung jawab seseorang bila kawannya (sesama Muslim) telah melaksanakannya. Tetapi berperang itu menjadi fardhu a’in yaitu setiap individu muslim wajib melakukan.
Hukum berperang itu menjadi fardhu ain dalam keadaan sebagai berikut:
-           Apabila Imam (pemimpin / komandan) umat Islam telah memerintahkan kepada umat Islam untuk berangkat ke medan perang, wajiblah ia mentaati perintah imam; sebagaimana telah diatur didalam Al Quran; surat: 9 (At Taubah): 38: “Hai orang-orang yang beriman, bagaimana kamu masih berlambat-lambat, apabila telah diperintahkan berperang pada jalan Allah?”.
-           Apabila musuh telah menguasai negeri Muslim maka wajiblah mereka mengusir musuh tersebut, karena musuh itu akan menebar fitnah terhadap umat Islam; sebagaimana diatur didalam Al Quran, surat: 2 (Al Baqarah): 191: “dan bunuhlah mereka itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan keluarkan mereka dari tempat yang mereka keluarkan kamu, dan fitnah itu lebih jahat dari pembunuhan dan janganlah kamu perangi mereka di Masjid Haram (yang mulia itu) hingga mereka memerangi kamu disitu. Maka kalau mereka memerangi kamu disitu, maka bunuhlah mereka; begitulah balasan untuk orang-orang kafir”.
b.       Hukum yang setimpal / setara (Qishash).
Perintah untuk melakukan serangan yang setimpal/setara terhadap musuh yang melakukan serangan seperti “bumi hangus”, membunuh penduduk sipil, terror, menghancurkan kota-kota dan desa-desa dengan bom-bom pembunuh massal dan sebagainya, telah diatur didalam Al Quran, surat: 2 (Al Baqarah): 194: “perang di bulan haram, maka dibalas pula dibulan haram dan kehormatan itu adalah timbal balik; maka siapa yang menyerangmu (menganiaya, menindas, menyiksa, menteror), maka serang pulalah seperti bentuk yang mereka lakukan kepadamu”.
Dan didalam Al Quran, surat: 42 (Asy Syura): 40: “dan balasan kejahatan adalah kejahatan seumpamanya pula”
(Abdul Qadir Audah; 1965: 76-78).
c.       Hukum perang yang berlaku bagi warga Negara Islam
Bagi warga Negara Islam seperti Negara Islam Madinah pada zaman Rasulullah saw (622-632 M) dan zaman Khulafa al Rasyidin seperti Khalifah Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib (632-661 M), setiap tindakan kejahatan seperti fitnah, penghianatan, makar, pemberontakan, pemurtadan, mengelak kewajiban membayar zakat dan jisyah (pajak jaminan keamanan bagi golongan minoritas) diberlakukan hukum perang. Ketentuan hukumnya telah diatur didalam Al Quran, surat: 5 (Al Maidah); 33: “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, bahwa mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya mereka dengan bertimbal balik, atau dibuag dari negeri (tempat kediamannya) yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia dan diakhirat mereka peroleh siksaan yang besar”.
Dan didalam Al Quran, surat: 9 (At Taubah): 107: “dan diantara orang-orang yang munafik itu ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk (membuat orang-orang mukmin) kafir dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin dan menunggu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya sejak dahulu (orang Kristen). Mereka sesungguhnya bersumpah “kami tidak menghendaki selain kebaikan”, dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Istilah “harb” (perang) didalam Al Quran terdapat dalam Al Quran, surat: 2 (al baqarah): 279: surat: 5 (Al Maidah): 64; surat: 8 (Al Anfal): 57 dan surat: 47 (Muhammad): 57.
Perang yang konvensional (biasa) bisa berarti perang pemikiran, perang ekonomi, perang media massa dan seterusnya, seperti: harbun baridah (perang dingin, cold war), harbun ahliah (perang saudara, civl war). (Abdullah bin Nuh dan Oemar Bahny; 1959: 217).
Oleh karena itu perang demikian, yang tercakup dalam pengertian “fitnah” (penghinaan), pelecehan, penodaan, mengadu domba dan berencana berkerjasama dengan musuh-musuh Islam, pemurtadan, pemberontakan, menolak kewajiban membayar zakat dan jizyah, makar, penghianatan, semuanya termasuk tindakan kejahatan tersebut adalah seperti diatur dalam Al Quran: surat: 5 (Al Maidah): 33 dan surat: 9 (At Taubah): 107.
II.                  Fakta Sejarah Perang dan Serangan Dalam Islam
1.        Masa Rasulullah saw
Pada masa Rasulullah saw menjadi kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Panglima Tertinggi Tentara Islam di Madinah (622-632 M) telah terjadi perang dan serangan 63 kali, dimana 27 kali dipimpin langsung oleh Rasulullah saw dan 36 kali dipimpin dipimpin oleh para sahabatnya. Tetapi didalam tulisan ini akan menampilkan beberapa peristiwa perang dan serangan yang menonjol dan mempunyai kedudukan strategis bagi kelanjutan Negara Islam Madinah.
Kemudian sebelum terjadi perang dan serangan dari musuh-musuh umat Islam, Rasulullah saw sangat aktif melakukan patroli perbatasan Negara Islam Madinah, baik perbatasan dengan Negara / clan / qabilah Musyrik Mekkah, Negara Kristen Romawi Timur di Syria dan Yordania maupun Negara kerajaan Majusi Persia Sassanid.
Patroli perbatasan yang dilakukan oleh pasukan tentara Islam Madinah itu untuk membuktikan eksistensi, kekuasaan dan wewenang Negara Islam yang baru didirikan itu, maka Rasulullah saw telah mengirim pasukan berkekutanan 30 orang dibawah pimpinan Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi saw) ke perbatasan di tepi laut merah di kawasan ‘Ish. Ditempat ini, pasukan tentara Islam bertemu pasukan Musyrik Mekah dibawah pimpinan Abu Jahal bin Hisyam, yang berkekuatan 300 orang, tetapi tidak terjadi pertempuran, karena dilerai oleh Majdi bin Amr yang bertindak sebagai juru damai di kedua belah pihak.
Setelah itu Rasulullah saw mengirim Ubaidilah bin Harist dengan 60 orang pasukan tentara Islam ke daerah Wadi Rabigh, sumber air di Hijaz. Disini pasukan tentara Islam bertemu dengan pasukan Musyrik Mekkah yang berkekuatan 200 orang dibawah pimpinan Abu Sofyan. Tetapi tidak terjadi pertempuran, walau Said bin Abi Waqash (tentara Islam) telah melepaskan anak panahnya.
Lalu Said bin Abi Waqash dengan pasukan tentara Islam berkekuatan 20 orang, dikirimkan oleh Rasulullah saw ke daerah Hijaz, tanpa terjadi pertempuran.
Selanjutnya Rasulullah saw bersama satu pasukan tentara Islam berangkat ke daerah Abwa, sedangkan pimpinan pemerintahan kota Madinah diserahkan kepada Said bin Ubaidillah. Didaerah Abwa, Rasulullah saw mengadakan perjanjian damai dengan Banu Zamra.
Setelah itu Rasulullah saw dengan kekuatan pasukan tentara Islam sebanyak 200 orang pergi ke Barat di kawasan Razwa, dan pimpinan pemerintahan kota Madinah diserahkan kepada Abu Salam bin Abdul Asad. Dilanjutkan ke Usyrina dipedalaman Yanbu, disini Rasulullah saw mengadakan perjanjian damai dengan Banu Madlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Zamra. Peristiwa ini terjadi pada awal kedua Hijrah atau Aktober 623 M (Haikal; 1982: 245-247).
Selain itu, didalam konstitusi Negara Islam Madinah, Bab II tentang hak-hak Asasi Manusia, pada pasal 2, telah mengatur hak dan kewajiban kaum Muhajirin yaitu terdiri dari kaum Quraisy; dan pasal 3 sampai dengan pasal 10, telah mengatur hak dan kewajiban kaum Anshar, yang terdiri atas dua qabilah besar Aus dan Khazraj. Tetapi beberapa qabilah kecilkecil dari Aus dan Khazraj membentuk sempalan-sempalan yang disebut kaum Munafiq dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul. Sempalan-sempalan kaum Munafiq tersebut adalah sebagai berikut :
-           Dari Banu Auf adalah Abdullah bin Ubay bin Salul
-           Dari Banu Amr adalah Zurri bin Harst
-           Dari Banu Tsilaba adalah Jariyyah bin Amr
-           Dari Banu Dhabiah adalah Bajad bin Utsman
-           Dari Banu Umayyah adalah Wadiah bin Tsabit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar