Rabu, 18 Mei 2011

Palestina-Yahudi, digunakan semaksimal mungkin oleh Yahudi untuk memborong habis setengah paksa tanah-tanah subur milik umat Islam.
Pada tahun 1935 angka imigrasi Yahudi naik menjadi 61.854 orang. Akibatnya timbullah keresahan-keresahan dikalangan umat Islam sebagai pribumi, dan kerusuhan-kerusuhan pecah antara Yahudi dengan umat Islam pada tahun 1936 itu juga.
Untuk menghadapi invasi Yahudi yang makin brutal, maka pada tahun 1936 akhir terbentuklah “Komisi Tinggi Arab”. Pemogokan-pemogokan umum berkepanjangan, ledakan kekerasan yang meluas serta tindakkan-tindakkan polisi dan militer yang kejam, akhirnya Komisi Peel mengeluarkan laporan pada bulan Juli 1937. laporan ini menganjurkan agar di Palestina dibentuk satu Negara Arab dan satu Negara Yahudi, yang masing-masing di daerah yang penduduknya terutama terdiri atas Arab dan Yahudi. Sedangkan Yerusalem akan tetap di bawah pemerintah Inggris. Rencana komisi ini tidak membuahkan hasil apa-apa, sampai pecah perang Yahudi-Islam pada tahun 1939.
Pada tahun ini, Pemerintah Inggris mengeluarkan “Macdonald’s White Paper”, yang merupkan kebijaksanaan politik baru mengenai Palestina. Macdonald’s White Paper, berisi:
v     Bahwa Perjanjian Balfour yang diadakan pada tahun 1917 bermaksud untuk mengadakan “tanah air nasional” bagi Yahudi di Palestina dan bukanlah “Negara Yahudi”, Tanah air nasional ini telah ada;,
v     Bahwa pengungsian orang Yahudi ke Palestina berdasarkan perjanjian itu hendaklah dihentikan setelah menerima pengungsian yang quota tertingginya sejumlah 75.000 orang Yahudi;.
v     Bahwa penduduk Palestina yang terdiri di waktu itu dari 1.250.000 bangsa Arab dan 650.000 bangsa Yahudi hendaklah memiliki hak menentukan nasib sendiri (self determination) dalam jangka waktu sepuluh tahun. (M. Fuad Fachruddin; tanpa tahun: 19).
Macdonal’s White Paper tidak mempunyai arti apa-apa, karena sejak itu sampai tahun 1945 telah terjadi bentrokan kekuatan antaraYahudi-Islam yang tak henti-hentinnya. Puncak kekerasan ini mencapai titik-kulminasinya pada tahun 1946.
Tindakan kekerasan antara Yahudi-Islam melahirkan “Rencana Pemisahan” oleh Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diputuskan dalam sidang umumnya pada tanggal 29 Nopember 1947. Menurut rencana ini akan ada dua negara dengan wilayah sendiri-sendiri yang sudah ditetapkan, yaitu negara Yahudi dan negara Arab. Yerusalem akan dilepaskan dari kedua negara tersebut; akan ditempatkan di bawah Dewan Perwakilan PBB sbagai “Corpus Separatum”. Kedua negara itu akan dikaitkan satu sama lain oleh suatu Uni Ekonomi. Sementara itu pihak Mandataris (Inggris) mengumumkan maksudnya untuk mengundurkan diri mulai 1 Agustus 1948, karena menurut pernyataan itu, ia tidak hendak memaksakan sesuatu rencana pemisahan yang bertentangan dengan kehendak Yahudi atau Arab; yang tersebut pertama menerimannya dengan enggan hati, sedangkan yang tersebut terakhir menolaknya. Dalam keadaan seperti itu, Mandataris (Inggris) mengundurkan diri dari Palestina pada tanggal 14 Mei 1948, kecuali kota Haiffa. (Hasan bin Talal; 1980 : 22).
Sesudah PBB mengeluarkan Resolusinnya pada bulan September 1947 sampai keluarnya tentara Inggris dari Palestina pada pertengahan Mei 1948, waktu negara Israel resmi didirikan, pada saat itulah kaum Yahudi Zionis di bawah pimpinan Stern mulai melakukan “teror” memaksa penduduk Arab supaya meninggalkan daerah-daerah yang dijadikan negara Israel. Untuk memperkuat alasan bahwa penduduk Arab itu tidak mempunyai tempat lagi di Israel, maka gerombolan teroris Stern Yahudi memilih beberapa desa, seperti Der Yassin untuk “Pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Arab”, agar tercipta keadaan panik penduduk Arab yang meluas dan dengan demikian exodus dari seluruh penduduk Arab. Sehingga akhirnnya menjelang bulan Mei 1948, tatkala Inggris dengan resmi melepaskan tanggung-jawabnya atas Palestina, lebih dari 300.000 orang Arab telah terusir dari kampung-kampung halamannya dan ladang-ladang mereka. Mereka inilah kelompok pertama dari kemanusian yang menderita akibat dari Deklarasi Balfour, yang tidak memiliki tempat tinggal serta tanpa harapan, yang dikenal dewasa ini sebagai pengungsi-pengungsi Palestina. Propaganda Yahudi Zionis mencoba meyakinkan dunia, bahwa pengunsi-pengunsi Palestina itu adalah akibat dari penyerbuan terhadap Israel di tahun 1948, dan bawa mereka diperintahkan meninggalkan kampung halaman mereka oleh pemimpin-pemimpin Arab sendiri, yang menjanjikan bahwa mereka akan dikembalikan lagi ke tempat asal mereka sesudah orang Arab berhasil memusnahkan Negara Israel. Kenyataan yang sebenarnya adalah sebaliknya. Sebelum orang-orang Arab menyerang Israel pada bulan Mei 1948, pengungsi-pengungsi Arab telah berjumlah lebih dari 300.000 orang, yang dipaksa dengan kekerasan untuk meninggalkan kampung halaman mereka oleh kaum Yahudi Zionis. Jadi lebih logis apabila dikatakan bahwa diusirnya orang-orang Arab dari kampung halaman mereka, mengakibatkan timbulnya serangan Arab kepada Israel. (Anthony Nutting; tanpa tahun: 6-7).
Sebab keputusan Liga Arab untuk megirimkan tentara Arab ke Palestina, sehingga terjadi pertempuran antara tentara Arab versus tentara Yahudi Zionis, pada tanggal 15 Mei 1948, adalah justru untuk menolong rakyat Palestina dari kekejaman tentara Yahudi. Dalam petempuran ini tentara Arab memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang, sehingga hampir memasuki kota Tel Aviv. Posisi Israel dapat tertolong karena adaya gencatan senjata pada tanggal 11 Juni 1948. Gencatan senjata ini tidak berumur lama, karena Israel melakukan serangan-serangan kembali terhadap posisi tentara Arab pada tanggal 9 Juli 1948. dalam pertempuran ini, tentara Arab mengalami kekalahan dengan jatuhnya kota Lyda dan Ramalah ke tangan Israel. Kekalahan tentara Arab disebabkan tidak terdapatnya kesatuan strategi dan taktik dikalangan mereka. Pertempuran berakhir dengan adaya gencatan senjata pada tanggal 18 Juli 1948.
Kemudian, setelah Israel merasa dirinya kuat, sebagaiman terbukti dalam pertempuran pada tanggal 9 Juli 1948, maka untuk ketiga kalinnya Israel kembali lagi melanggar gencatan senjata dengan menyerbu tentara Mesir di sebelah selatan Palestina pada tanggal 14 Oktober 1948. Pertempuran yang dimenangkan oleh Israel berakhir pada tanggal 7 Januari 1949, di saat Mesir bersedia berunding dengan Israel di Rhodesia. Sejak Mesir berdamai dengan Israel diikuti oleh negara-negara Arab lainnya.
Nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir menimbulkan kemarahan di pihak Inggris dan Perancis, yang mempunyai saham dalam perusahaan terusan itu. Dalam kondisi seperti ini Israel memprakarsai terbentuknya tentara gabungan antara Israel, Inggris dan Perancis menyerang Mesir dan berhasil menguasai kota Port Said. Tetapi karena ancaman dari Rusia untuk turun tangan membantu Mesir, akhirnya pasukan agresor Israel, Inggris dan Perancis harus angkat aki dari Port Said pada tanggal 23 Desember 1956.
Setelah tentara penyangga nternasional (UNEP) ditarik dari Gaza dan Selat Tiran ditutup oleh Mesir, Yordania dan Syria pada tanggal 5 Juni 1967. Dalam pertempuran 6 hari ini, pasukan Israel telah berhasil menduduki Sinai dan Gaza dari Mesir, pantai barat Yordania dari Yordania, daerah Qunetra dari Syria dan seluruh kota Yerusalem. Daerah-daerah yang diduduki Israel itu terletak 120 km jaraknya dari Kairo, dan 50 km jaraknya dari Amman (Yordania) dan 50 km jaraknya dari Damaskus (Syria), dan tidak kurang dari 1.300.000 orang Arab yang berada/berdiam di daerah pendudukan ini. (M. Fuad Fachruddin; tanpa tahun: 21-24).
Penghiantan gencatan senjata dan agresi Israel yang tak henti-hentinya dalam merebut daerah-daerah Arab seperti Palestina, Mesir, Syria dan Yordania adalah sepenuhnya dibantu oleh Amerika Serikat, baik dalam bentuk uang maupun persenjataa modern. Selama periode dua puluh tahun, yaitu dari sejak 1948-1968, jadi sejak Israel (Yahudi Zionis) melakukan pembantaian terhadap umat Islam di Palestina dan merampas terhadap daerah-daerah kaum Muslimin, Amerika Serikat telah memberikan bantuan dana perang sebesar $ 11.000.000.000 (sebelas milyar dolar Amerika Serikat) dari pemerintah dan $ 25.000.000.000 (dua puluh lima milyar dolar Amerika Serikat) dari perseorangan, jadi seluruhnya berjumlah  $36.000.000.000 (tiga puluh enam milyar dolar Amerika Serikat). Dengan demikian bantuan perang dari Amerika Serikat untuk Israel adalah $1.400 per capita pertahun, dengan jumlah penduduk Israel sebanyak dua setengah juta orang. Jumlah ini melebihi dari jumlah pendapatan per capita Israel sendiri; melebihi secara luar biasa, jika dibandingkan dengan jumlah bantuan Amerika Serikat terhadap negara-negara lainnya, yang seluruhnya bernilai $35 per capita, untuk tiga belas negara tetanggannya.
Selain itu, bantuan perang buat Israel bukan hanya dalam bentuk dana, tetapi juga dalam bentuk persenjataan muktahir, dari mulai pesawat tempur jenis Phantom, peluru kendali dengan sistem elektronik yang memiliki kemampuan besar dalam serangan untuk menghancurkan negara Arab, demikian fakta yang kita dapatkan dari media massa “The Times” London, yang terbit tanggal 5 Februari 1971. (Ali Akbar; 1986: 206-207).
Kemenangan Israel dan penindasan yang dilakukannya terhadap umat Islam sampai di luar batas kemanusiaan, tidak menyebabkan rakyat Palestina berdiam diri dan menyerah, tetapi mereka terus melakukan perlawanan secara gerilya. Pada tanggal 21 Maret 1968 pasukan gerilya Palestina, yaitu “Al Fatah” melakukan serangan terhadap markas tentara Israel di Karamah Yordania, yang berhasil dengan sukses besar. Peristiwa ini, yang dikenal dengan nama “Perang Karameh”, mengangkat nama kelompok gerilyawan bersenjata Palestina di mata dunia internasional. Semenjak itu peran gerilyawan Palestina senantiasa senantiasa menjadi perhitungan di arena politik Timur-Tengah. Apalagi setelah Al Fatah pada tahun 1969 bergabung ke dalam PLO, dimana Yasser Arafat diangkat menjadi ketuanya. Tetapi penampilan gerilyawan Palestina yang mengembirakan itu, disusul dengan peristiwa “September Hitam” yang menyedihkan. Pada bulan September 1970 terjadilah pertempuran antara gerilyawan Palestina dengan tentara Yordania, sehingga banyak korban yang jatuh, terutama di pihak gerilyawan. Akibat lanjutan dari perisiwa ini, maka pada bulan April 1971, gerilyawan Palestina diusir dari Amman, ibu kota Yordania. Peristiwa ini sangat memilukan hati, sebab para gerilyawan Palestina yang telah tidak mempunyai kampung halaman lagi, harus diusir oleh kawan sendiri, yang selama ini seiring-selangkah dalam menghadapi Israel.
Pada tanggal 6 Juni 1982 Israel melakukan invasi ke Libanon dan berhasil mengepung kota Beirut. Di bawah tekanan dan ancaman Israel, pada tanggal 21 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar