Selasa, 17 Mei 2011

Semenanjung Arab akan dibebaskan dan merdeka, begitu penjajah Turki dikalahkan.
Begitu janji yang diikarkan, begitu pula dengan cepat tentara-tentara Arab dikerahkan untuk memenuhi janji persekutuan ini. Tetapi begitu pula dengan segera Inggris dan Prancis mengadakan pertemuan dan mengadakan “Perjanjian Sykes Picot” pada tahun 1916, dimana dicapai persetujuan untuk membagi-bagi Syria, Irak, dan Trans Yordania di antara kedua Negara itu, kelak sehabis perang.
Sesudah itu untuk melengkapi penipuan ini, pada bulan November 1917, Inggris memutuskan untuk mengambil alih Palestina sebagai pangkalan strategis untuk melindungi Terusan Suez di bawah lindungan payung kemanusiaan. Bernama “Deklarasi Balfour”. Sebagaimana dimaklumi bahwa bahwa Deklarasi Balfour adalah “janji Inggris kepada Yahudi” untuk memberikan Palestina sebagai tanah air nasional Yahudi.
Tidaklah mengherankan bila bangsa Arab merasa dikhianati dengan kelingking berkait, janji kemerdekaan yang telah diikrarkan kepada Syarif Husein dan Bangsa Arab. Tetapi walau demikian, masih juga sampai saat itu mereka menaruh kepercayaan kepada sekutu-sekutunya (Inggris dan Prancis), melalui berbagai bujuk rayu dan janji. Bangsa Arab itu diyakinkan lagi bahwa kampung halaman (National Home) bagi orang Yahudi itu tidak akan diperbolehkan menjadi suatu Negara Nasional dan bahwa hak-hak sipil dan agama dari masyarkat non Yahudi–suatu ungkapan yang kenes–kalau tidak dikatakan jahat mengenai mayoritas mutlak penduduk adalah Arab, akan dilindungi. Sebab itulah Bangsa-bangsa Arab menyangka, barangkali penolakan pemberian janji kemerdekaan itu sifatnya hanya sementara dan faktanya waktu itu penduduk bangsa Arab Palestina berjumlah 92% dan penduduk Yahudi hanya 8%. Sehingga dengan keyakinan semacam itu, pemimpin-pemimpin arab seperti Amir Faisal menyetujui untuk dibentuknya suatu penampungan bagi orang-orang Yahudi yang dikejar-kejar di Eropa.
Bagaimanapun juga kerjasama semacam ini memanglah dalam harmoni yang penuh dan total dengan tradisi keramah tamahan bangsa itu, yang telah dilakukan oleh orang-orang Arab berabad-abad lamanya kepada orang-orang Yahudi yang diburu-buru Eropah, sejak dari inkwisisi Spanyol sampai kepada penjagalan Yahudi besar-besaran yang dilakukan oleh Trans Rusia. Suatu bangsa, bahkan satu-satunya bangsa di seluruh yang dinamakan dunia beradab yang tidak pernah memburu-buru, menganiaya bangsa Yahudi adalah orang-orang Arab”. (Anthony Nutting, tanpa tahun: 1-3).
Sebagaimana diungkapkan di muka bahwa semenjak Inggris menduduki Palestina pada tahun 1917, maka Negara-negara Kristen (Sekutu) seperti Perancis dan Amerika Serikat, melalui Liga Bangsa-Bangsa (Volkenbond/Convenant of League of Nations) telah memperkokoh kedudukan Inggris dengan “Mandat” yang diberikan pada tanggal 24 Juli 1922. Dalam mandat itu disebutkan dengan jelas isi dari perjanjian “Deklarasi Balfour”.
Sehubungan dengan ini pada bulan Mei 1930 delegasi Palestina pergi ke London diantaranya terdapat Mufti Palestina Amin Al Husaini. Mereka berjumpa dengan Ramsi Macdonald, Perdana Menteri Inggris, dan berunding mengenai soal “mandataris” (yang bertentangan dengan janji Inggris kepada bangsa Arab di masa Perang Dunia I); dan mengenai piagam tersebut serta mengenai sikap Inggris yang memihak Yahudi. Perdana Menteri Ramsi memberi Jawaban bahwa masalah-masalah tersebut adalah wewenang dari Liga Bangsa-Bangsa.
Dengan Jawaban ini, pada bulan Juni 1932, Amin Al Husaini berangkat menuju Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa untuk menemui Sekeretaris Jenderal Liga tersebut yaitu Erick Drumond (berkebangsaan Inggris). Pembicaraan Multi Palestina ini dengan sekretaris Jenderal LBB mendapat kesimpulan bahwa “Liga Bangsa-Bangsa” tidak membuat rencana piagam mandataris tersebut, bahwa Pemerintah Inggrislah yang membuatnya dengan persetujuan Yahudi.
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Erick Drumond, ternyata kemudian benar. Piagam Deklarasi Balfour itu dibuat oleh Pemerintah Inggris bersama-sama dengan tokoh-tokoh Yahudi, Dr. Weizman (tokoh Yahudi) menulis di dalam buku hariannya sebagai berikut : “Sesungguhnya seorang Yahudi Amerika bernama Ben Yamin Cohen bertindak sebagai Sekretaris dari Menteri Luar Neger Inggris Lord Crezon telah membuat piagam mandataris itu yang disetujui pula isinya”. (Hasan bin Talal; 1980 : 21).
Pada tahun 1929 terjadi kerusuhan yang serius yaitu ketika timbul pertikaian mengenai peribadatan di Tembok Ratapan Yerusalem, dan di Hebron. Kerusuhan-kerusuhan ini mengakibatkan lahirnya Komisi Shaw pada tahun 1930. komisi melaporkan sebab-sebab kerusuhan dan memajukan rekomendasi untuk menghindari peristiwa yang demikian di kemudian hari. Sebab yang lebih serius dari konfrontasi  Yahudi-Islam ialah semakin meningkatnya angka imigrasi Yahudi ke Palestina berkat Dekalarasi Balfour yang dimasukan ke dalam Piagam Mandat.
Pada tahun 1933, ketika Hitler Nazi berkuasa di Jerman imigrasi Yahudi ke Palestina naik sampai 30.327 orang, dibandingkan tahun sebelumnya (1932) hanya berjumlah 9.533 orang. Masuknya bantuan modal Amerika Serikat ke Palestina-Yahudi, digunakan semaksimal mungkin untuk memborong habis setengah paksa tanah-tanah subur milik umat Islam.
Pada tahun 1935 angka imigrasi Yahudi naik menjadi 61.854 orang. Akibatnya timbulah keresahan-keresahan di kalangan umat Islam sebagai pribumi, dan kerusuhan-kerusuhan pecah antara Yahudi dengan umat Islam pada tahun 1936 itu juga.
Untuk menghadapi invasi Yahudi yang makin brutal, maka pada tahun 1936 akhir terbentuklah “Komisi Tinggi Arab”. Pemogokan-pemogokan umum berkepanjangan, ledakan kekerasan yang meluas serta tindakan-tindakan polisi dan militer yang kejam, akhirnya Komisi Peel mengeluarkan laporan pada bulan Juli 1937. leporan ini mengajukan agar di Palestina dibentuk Negara Arab dan satu Negara Yahudi, masing-masing di daerah yang penduduknya terdiri atas Arab dan Yahudi. Sedangkan Yerusalem akan tetap di bawah pemerintah Inggris. Rencana komisi ini tidak membuahkan hasil apa-apa, sampai pecah Perang Yahudi – Islam pada tahun 1939.
Pada tahun ini, Pemerintah Inggris mengeluarkan “Macdonald’s White Paper”, yang merupakan kebijaksanaan politik baru mengenai Palestina. Mac Donald’s  White Paper berisi :
·        Bahwa perjanjian Balfour yang diadakan pada tahun 1917 bermaksud untuk mengadakan “tanah air nasional” bagi Yahudi di Palestina dan bukanlah “Negara Yahudi”, Tanah air Nasional ini telah ada;
·        Bahwa pengungsian orang Yahudi ke Palestina berdasarkan perjanjian itu hendaklah dihentikan setelah menerima pengungsian yang quota tertingginya sejumlah 75.000 orang Yahudi.
·        Bahwa penduduk Palestina di waktu itu terdiri dari 1.250.000 bangsa Arab dan 650 bangsa Yahudi hendaklah memiliki hak menentukan nasib sendiri (self determination” dalam jangka waktu sepuluh tahun. (M. Fuad Fachruddin ; tanpa tahun : 19).
Mac Donald White Paper tidak mempunyai arti apa-apa, karena sejak itu sampai tahun 1945 telah terjadi bentrokan kekuatan antar Yahudi-Islam yang tak henti-hentinya. Puncak kekerasan ini mencapai titik-kulminasinya pada tahun 1946.
Tindakan kekerasan antar Yahudi-Islam melahirkan “Rencana Pemisahan” oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diputuskan dalam sidang umumnya pada tanggal 29 November 1947. Menurut  rencana ini akan ada dua Negara dengan wilayah sendiri-sendiri yang sudah ditetapkan, yaitu Negara Yahudi dan Negara Arab. Yerusalam akan di lepaskan dari kedua nega tersebut; akan ditempatkan di bawah Dewan Perwakilan PBB sebagai “Corpus Separatum”. Kedua Negara itu akan dikaitkan satu sama lain oleh suatu uni ekonomi. Sementara itu pihak Manadataris (Inggris) mengumumkan maksudnya untuk mengundurkan diri mulai 1 Agustus 1948, karena menurut pernyataan itu, ia tidak hendak memaksakan sesuatu rencana pemisahan yang bertentangan dengan kehendak Yahudi atau Arab; yang tersebut pertama menerimanya dengan enggan hati, sedangkan yang tersebut terakhir menolaknya. Dalam keadaan seperti itu, Manadataris (Inggris) mengundurkan diri dari Palestina pada tanggal 14 Mei 1948, kecuali kota Haiffa. (Hasan bin Talal; 1980 : 22).
Sesudah PBB mengeluarkan Resolusinya pada bulan September 1947 sampai keluarnya tentara Inggris dari Palestina pada pertengahan Mei 1948, waktu Negara Yahudi resmi didirikan,
Pada saat itu kaum Yahudi Zionis di bawah pimpinan Stern mulai melakukan “terror”  memaksa penduduk Arab supaya meninggalkan daerah-daerah yang dijadikan Negara Israel. Untuk memperkuat alasan bahwa penduduk Arab itu tidak mempunyai tempat lagi di Israel, maka gerombolan teroris Stern Yahudi memilih beberapa desa seperti Der Yassin untuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar