Selasa, 21 Juni 2011

Islam Dapat Memperbaiki Moral Bangsa

1. Islam telah ada di Indonesia sejak abad VII dan dipeluk oleh 86% penduduknya.
2. Moral Islam mengatur semua segi kehidupan (dngan tuhan, diri sendiri, dan sesama manusia,lingkungan hidup)
3. pertanggungan jawab moral : dunia-akhirat (Q.S : 99 : 7-8).
4. Keteladanan : Rasulullah s.a.w (Q.S;33 :26).
5. Keteladanan harus dipraktikan dalam keluarga (Orang Tua), sekolah (Guru), Masyrakat (tokoh), Negara (aspek negara).
6. Setiap Muslim wajib menegakkan moral Islam (H.Muttafaq Alaih).
7. Moral Sekuler dan Merusak :
hedonisme (kesenangan dan kelezatan), Utilkitarisme (keuntungan, kemamfaatan), Vitalisme (Seksual), Meterialisme (Materi, uang).
8. Lingkunganhidup; (manusia dan masyarakat) harus bersih dari : Pornografi, Prostitusi, judi, narkoba, huru-hara, dan kekerasan.
9. PMP telah gagal (1966-1998).

Kerusakan Moral Bangsa

1. Negara Sekuler (Kapitalis, Komunis, Nasionalis) a moral
2. Penelitian : Andrew L.Shapiro, James, Kim Pitterson di AS hasilnya sebagai berikut : a. 93% a moral, b. 91% suka berdusta, c. 74,10% tidak beragama, d. 31% senang berselingkuh, e. seorang dari 10 remaja putri telah melakukan pelacuran, f. seorang dari 20 remaja putri telah melahirkan anak haram jadah, g. 400.000 anak-anak penderita AIDS, h. tiap 25 menit terjadi pembunuhan, i. teror terhadap Islam 12-30/9-2001 : 542 kasus.
3. AS menjadi induk semang Indonesia selama 45 tahun (1966-2011).
4. Kerusakan moral bangsa kaena Indonesia menjadi abdi AS, semua moral yang bejat diterima dengan bangga.
5. Dari Abdul Qadir Djaelani Bogor 20/6-2011
Mantan Anggota DPR-RI No. AA 259
1999-2004

Selasa, 07 Juni 2011

Pancasila Gagal Mewujudkan NKRI Gemah Ripah Loh Jinawi

Pancasila Gagal Mewujudkan
NKRI Gemah Ripah Loh Jinawi
Oleh : Abdul Qadir Djaelani

I. Pendahuluan
1. Yudaisme dan Kritianisme melahirkan sekularisme. Yudaisme yang menjadikan Musa sebagai Lord (Pangeran) Tuhan dan Kristianisme yang menjadikan Yesus Kristus (Putera Tuhan) memberikan inspirasi kepada Ludwig Feuerbach (1804-1871) untuk menyimpulkan “Homo Homini Deus” (Thuan yang sesungguhnya adalah dirinya sendiri). (Ignace Lepp : 1985 : 67-70).
2. Dengan mengangkat diri manusia sebagai Tuhan, maka ia telah manjadikan diri manusia sebagai sumber kebenaran dan penentu ukuran tentang nilai benar dan salah, baik dan buruk, terlarang dan boleh serta indah dan jelek. Pandangan Filsafat semacam ini disebut “Anthropo Sentris” (Antrophos = Manusia, Sentris = Pusat). Pengertiannya : manusia sumber kebenaran dan penentu semua nilai. (Ali Syariati; 1983 : 56).
Pandangan semacam ini mewarnai pemikiran sehari-hari di barat. (Marcel A. Boisand; 1980 : 44) kerenanya kaum sekuler menolak nilai-nilai dari Tuhan (wahyu). Umat Islam yang meyakini tuhan sebagai sumber kebenaran dan penentu semua nilai-nilai, jadi pandangannya Theosentris  (Theo = Tuhan, Sentris = Pusat) bertolak belakang dengan pandangan yang Antrophosentris.
3. Sekulerisme telah melahirkan ideologi dunia yaitu Komunisme, Nasionalisme, dan Kapitalisme.(Saedjatmoko, Kompas; 3 Desember 1979).
Para penulis konsepsi :
Komunisme : Karl Max (1818-1884); Engels (1829-1895); Lenin (1870-1872). Nasionalisme : Biuseppi Mazzini (1806-1872). Kapitalisme : Roussaue (1812-1878), Thomas Jefferson (1801-1884).

II. Ideologi Dunia
1. Komunisme
Esensi Komunisme yaitu : a. Anti agama : “Agama candu bagi manusia”. (Ignace Leppi; 1985 : 68-70); b. Materialisme : “Esensi segala sesuatu adalah materi” (Thomas Hobbes (1588-1679); Hobbach (1723-1789); Bucher dan Melasoff.
(CA Van Pearsen; 1980 : 157-159). c. Dialektika, teori ini berasal dari Hegel (1770-183) yang menyatakan : these, anti these dan Syarthese. (Ahmad Rustandi; 1971; 39-40). d. Historis materialis, teori berasal dari Charles Robet Darwin (1809-1882). (Ali Syariati; 1983 : 82). e. Ekonomi Commural; teori ini berasal dari Persudan (1809-1865), Ricardo (1772-1823). (M. Rasyid; 1965 : 18-20).
2. Nasionalisme
Esensi naionalisme yaitu : nasionalisme/kebangsaaan didasarkan atas ras, bumi dan sejarah adalah satu-satunya dasar pembentukan negara. (Biussepi Mazzini : 1806-1872). Karenanya nasionalisme mengangkat kebangsaan sebagai “Ilah” (Tuhan), bumi dan sejarah, kepentingan tertingginya tidak dari firman tuhan, melainkan dari sumber yang keruh yakni “ darah dan bumi”. (J.Verkuyl; 1983 : 138-139). Nasionalisme adalah suatu kredo yang didasarkan atas segenggam dogma yang ada di benak para penganutnya (Hans Lathy jerman : 1744-1803). Nasionalisme  cendrung Terpelanting kearah Cahuvinisme, Imperialisme, dan Fasisme seperti di kemukakan oleh Francis Cooher, Joseph Lighten, Walter Leugue, Will Durant, Didwei Hord dan Barbara Ward.(Haidar Bagir; 1986 : 37-39).
3. Kapitalisme
Esensi kapitalisme yaitu : a. Individualisme; tokoh-tokoh pemikrinya : Thomas Jefferson;    Dagobert Renes dan Virginia Ferms. (Ahmad Rustandi; 1990 : 73-74). b. Liberalisme. c. Kapitalisme; semboyannya “ dengan modal sekecil-kecilnya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya”(Rederik Martin; 1990 : 193).
III. Pancasila
1. Rumus Pancasila
Pemerintah kolonial Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BUPKI) pada 1 Maret 1945, dengan ketuanya Dr.Radjiman Widyoningrat dan beranggotakan 68 orang (Alibasya Lubis;1963 :6). Pada rapat BPUPKI pada 29 Mei -1 juni 1945 di Pejambon-Jakarta. dalam pembicaraan dasar negara pada tanggal 1 Juni 1945,  Soekarno (Bung Karno) menyatakan ia mengambil dari tulisan/makalah Dr.Sun Yat Sen (Cina/Tiongkok) yang berjudul “San Min Cu I” (The Three People’s Principles) yaitu “Minsu, Min Chuan, Min Sheng” (Nationalism, Damocraci, Sosilism). (Tujuh Badan Pokok Indoktrinasi; 1960 : 9-14). Kemudian ia mengusulkan dasar Negara Indonesia dengan nama Pancasila; Kelima sila tersebut sebagai berikut : a. Kebangsaan Indonesia. b. Internasionalisme atau prikemanusiaan. c. Mufakat atau demokrasi. d. Kesejahteraan sosial. e. Ke-Tuhanan. (Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Departemen Penerangan : 1965).
sebelum sampai pada rumus Pancasila, Bung Karno menyatakan pengaruh dari gurunya Ir.Adolf Baars di H.B.S yang mengajarkan tentang ajaran Marxisme : Internasionalisme (kemanusiaan sedunia). jadi sila kedua dari Pancasila 1 Juni 1945 atau rumus Pancasila 1 adalah dari Adolf Baar (Belanda ). Selanjutnya sila kelima (Ke-Tuhanan) mempunyai pengertian : hasil dari proses evolusi sosiologis Marxis sebagai mana di ceramahkan oleh Bung Karno, dalam kursus Pancasila di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Mei, 5 Juni, 16 Juni, 22 Juli dan 3 September 1958. (Sekenario Pancasila Sebagai Dasar Negara; 1984 : 25-46).
jadi rumus pancasila I berasal dari Sun Min Cu I (dr. Sun yat sen yaitu : kebangsaan (nasionalisme), demokrasi; kesejahteraan sosial (sosialisme); sedangkan internasionalisme dan ketuhanan berasal dari marxisme melalui Adolf Baars.
oleh karena itu pancasila menurut Sutan Takdir Ali Syahbana bahwa sila dalam pancasila bukan saja terlampau beragam-ragam yang masing-masing melingkungi yang lain, sehingga tidak terlepas dari pertantangan dalam diri sendiri. didalam pancasila masing-masing sila tidak terjalin menjadi kesatuan yang bulat dan kesatuan logika pikiran tetapi tinggal terletak berderai-derai. (Deliar Noer; 1963:109).
 2. Rumus Pancasila II
Pada sidang terakhir BPUPKI dibentuk panitia 9 yang sekaligus merumuskan kembali pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato Bung Karno 1 juni 1945 (rumus pancasila I). panitia 9 telah berhasil merumuskan tugas tersebut pada 22 juni 1945 dengan nama, Piagam Jakarta 22 juni 1945; yang berisi  s.b : a) ke-tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. b) kemanusiaan yang adil dan beradab. c) persatuan Indonesia  d) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. e) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
piagam Jakarta 22 juni 1945 menjadi rumus pancasila ke II.
3. Rumus pancasila III
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk pada 9 agustus 1945.
pada tanggal 18 agustus 1945 PPKI rapat untuk menuntaskan undang-undang dasar dan memilih presiden dan wakil presiden R.I.
Dalam pmutusan undang-undang dasar 1945; rumus pancasila adalah sbb : a) ketuhanan yang maha esa. b) kemanusiaan yang adil dan beradab . c) persatuan Indonesia . d)  kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. e) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Rumus pancasila IV
Pada UUD-RIS, 29 oktober 1945, rumus pancasila IV adalah sbb : a) ketuhanan yang maha Esa. b) perikemanusiaan. c) kebangsaan . d) kerakyatan. e) keadilan sosial.
pada UUD sementara 1950, rumus pancasila tidak mengalami perubahan sama sekali.
5. Rumus pancasila V
Dekrit presiden Soekarno 5 juni 1959 yang menyatakan pembubaran konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dan pancasila mengalami perubahan fundamental sbb : a) Pancasila diperas menjadi : Tri Sila. b) Tri Sila terdiri atas : (-) Nasionalisme (-) sosio-demokrasi (-) ke-tuhanan. c) Tri Sila diperas menjadi Eka Sila. d)  Eka Sila yaitu gotong-royong. e) gotong-royong diwujudkan dalam bentuk NASAKOM (Nasional-Agama_Komunis).
pancasila Nasakom masih dilengkapi dengan Manipol ( Manifasto Politik), UUd 45, sosialisme Indonesia dan kepribadian Indonesia (USDEK).
6. Rumus pancasila VI
Rumus pancasila “Nasakom” (rumus pancasila V) berakhir di G30S/PKI, maka pemerintah orde baru membentuk “ panitia pancasila yang bertugas memberikan tapsir tunggal” pancasila. panitia pancasilaterdiri 3 orang, Dr. Moh Hatta, Mr. A. Soebardjodan Mr. A.A. Maramis ( mantan perumus pancasila II) dan ditambah 2 orang yaitu Mr. A. Sunarjo dan Mr. A. G. paringgodigdo. panitia ini bekerja mulai 10 januari 1975 dan berhasil merumuskan naskah (uraian pancasila) pada 8 maret 1975 dan diserahkan kepada presiden Soeharto pada tanggal 23 juni 1975. (Moh. Hatta; 1978:3-10). jadi, uraian pancasila “(panitia pancaasila) adalah rumus pancasila VI.
7. Rumus pancasila VII
Rumus pancasila VI ditolak oleh orde baru dan mereka menyusun sendiri tafsir pancasila dengan menjabar pancasila dengan P4 dan PMP. jadi rumus pancasila + P4 + PMP merupakan rumus pancasila VII.
apabila rumus pancasila V (pancasila-nasakom) berakhir di G30S/PKI, maka rumus pancasila VII (pancasila-P4-PMP) berakhir di krisis multidimensi.
8. Rumus pancasila VIII
Pada zaman orde-reformasi atau demokrasi liberal, rumus pancasila VIII adalah mempertahankan (rumus pancasila, 18 agustus 1945) sebagai symbol didalam pidato/ceramah para pejabat, yang tidak mempunyai arti apa-apa. karena penjabaran pancasila didalam batang-tubuh UUd-1945 telah dihapus oleh amandemen – UUD 1945”; I-IV”; UUD 1945 dari 16 Bab asli menjadi 20 bab; dari 37 pasal asli menjadi  82 pasal; dari 48 ayat asli menjadi, 172 ayat. ( St Jnd MPR-RI; 2002: 59-80) rumus pancasila VIII (mempertahankan rumus pancasila III/18 agustus 1945) tetapi merusak batang-tubuh pancasila dengan,, amandemen UUD 1945 berakhirpada titik tubir NKRI sebagai negara gagal.
IV. Islam dan Pancasila
1. Esensi Islam.
a. Islam adalah agama wahyu dari Allah yang terkumpul dalam kitab suci Al Quran dan Hadist Rasulullah s.a.w (kumpulan pembuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi Muhammad s.a.w.)
b. Pendirinya adalah Nabi Muhammad s.a.w yang lahir di Mekah pada 20 April 571 M; wahyu pertama yang diterimanya pada usia 40 tahun (611 M) dan termuat dalam Q.S : 96 :1-5.
c. Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna, yang mengatur semua dimensi kehidupan manusia (Q.S; 5 : 5; 3 dan Ibnu Katsim; 1969 : 12).
d. Islam adalah sistem kehidupan sempurna terdiri dari atas : Sistem spiritual, Sistem moral, Sistem politik, Sistem ekonomi, sistem sosial. (Abul A’la Mauduri; 1969 : VII).
e. Sitem kehidupan Islam yang sempurna wajib diterima oleh setiap muslim secara utuh dan lengkap (Q.S;2 : 208, Muhammad Ali Shebani; 1981 : 133). Dan terlarang menerima Islam secara parsial. (Q.S : 2 : 85; dan Abdul Qadir Audah; 1965 :137-138).
f. Allah (Tuhan) adalah sumber kebenaran dan pemberi criteria tentang : hak-bathil, halal-haram, ma’ruf-munkar, jamil dan qabil. (Q.s : 4 : 105). Secara filosofis Islam disebut Theosentris (Theo=Tuhan; Sentris=Pusat).


2. Esensi pancasila
a. Pancasila adalah dasar filsafat negara (philosofisch groundlag) Indonesia dari ideologi nasionalisme/kebangsaan yang mengilahkan (me-Tuhankan) bangsa dan tanah air.
b. Jari Pancasila lahir dari pandangan sekulerisme yang me-Tuhankan diri manusia (homo homini deus). Dimana manusia menjadi sumber kebenaran dan pemberi criteria tentang benar-salah, boleh dan terlarang, baik-buruk, indah-jelek, secara filosofis sekularisme disebut “Antrhopo sentris” (antrhopos=manusia; sentris=pusat).
c. Karenanya sila-sila dari Pancasila diambil dari Sun Min Cu I (Dr. Sun Yat Sen) : (Nasionalisme, Demokrasi, dan sosialisme), dan dari Marxisme (Ir Adolf Baars) : Internasionalisme dan ke Tuhanan.
d. Rumus Pancasila berkembang sampai VIII Rumus Pancasila. Dalam Rumus P II, dimasukkan istilah  Syariat Islam dalam sila pertama, tetapi pada rumus P.III, istilah syariat Islam dihilangkan.
e. Rumus Pancasila V yang pengertian dan aplikasi yang berbeda yang berakhir pada gotong-royong-NASAKOM dan G30 S/PKI.
f. Demikian pada rumus Pancasila VII baik pengertiannya maupun aplikasi berbeda dan berakhir pada krisis Multi dimensi.
g. Dan akhirnya pada zaman reformasi dengan mempertahankan Rumus Pancasila III menempatkan Pancasila di tempat yang etalage indah, tetapi UUD 1945 diamandemen sampai 4 kali dengan meniru UUD negara kapitalis khususnya AS, NKRI berada di tubirr negara gagal.
3. Islam bertentangan/berbeda dengan Pancasila?
a. Secara ideologi Islam bertentangan dengan Pancasila.
Islam adalah dari wahyu Allah, Pancasila adalah dari Filsafat manusia, Islam meyakini Allah sbagai sumber kebenaran, Pancasila meyakini manusia sebagai sumber kebenaran, Islam Theosentris, Pancasila antrophosentris.
b. Pancasila (NKRI) yang mengakui HAM dan Demokrasi .
NKRI harus mengakui HAM umat Islam, NKRI harus melaksanakan nilai-nilai Demokrasi dalam kehidupan politik, Secara historis NKRI bisa berdampingan dengan umat Islam didalam konstituante (dalam pembentukan UUD RI) yang bersidang dari 1956-1959 dan telah berhasil 90% menyusun rancangan UUD RI, tinggal tentang dasar negara : Islam >< Pancasila; hasil voting : Islam 230 suara dan Pancasila 270 suara (ESA; 1981 : 76)
c. Kalau Pancasila (NKRI) melarang HAM umat Islam dan menentang nilai-nilai demokrasi, maka NKRI akan sama dengan negara Kristen (AS dan Uni Eropa) yang menangkap dan membunuh umat Islam dengan semena-mena menyerbu dan menjajah negeri-negeri Muslim dangan biadab dan barbar.
d. apabila NKRI sudah seperti negara Kristen (AS dan Uni Eropa) terhadap Islam dan Umat Islam yang akan terjadi adalah perang sabil><perang salib.
IV.Penutup
1. Tulisan saya dimuat di Facebook : Abdul Qadir Djaelani
dan blog : muslimdjaelani.blogspot.com
Oleh Abdul Qadir Djaelani
Mantan anggota DPR-RI No.AA 259, periode 1999-2004
Bogor, 7 Juni 2011

Rabu, 01 Juni 2011

Abdul Qadir Djaelani









JEJAK LANGKAH K.H. NOER ALIE
DALAM MEMPERJUANGKAN ISLAM SECARA UTUH



















YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL MUNAWARAH
DAFTAR ISI


I.                  PENDAHULUAN
II.               ISLAM AGAMA SEMPURNA
III.           PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN LANGKAH AWAL MENEGAKAN ISLAM
IV.             PERJUANGAN POLITIK MEMPUNYAI KEDUDUKAN STRATEGIS
V.                JIHAD SATU-SATUNYA JALAN DALAM MENEGAKAN SYARIAT ISLAM
VI.             SIKAP MUSLIM TERHADAP MUSUH-MUSUHNYA
VII.         KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS
I.            PENDAHULUAN
Apabila kita mempelajari biografi KH. Noer Alie baik melalui buku-buku yang telah diterbitkan seperti “Ulama Pejuang, Biografi KH. Noer Alie” (2006); “Peranan Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam Di Indonesia” (1996); “Sejarah Konfrontasi Umat Islam Dengan Umat Kristen dan Sekularis Di Indonesia” (2004), dan pergaulan dalam perjuangan dengan beliau, kita akan memperoleh kesimpulan bahwa KH. Noer Alie adalah seorang ulama “waratsatul ambiya” dalam arti kata yang sebenarnya, yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur semua segi kehidupan, dimana pendidikan / dakwah merupakan langkah awal dalam menegakan Islam.
Selanjutnya, beliau meyakini bahwa perjuangan politik mempunyai kedudukan strategis didalam menegakan syariat Islam secara utuh dengan jihad fi sabilillah seperti perjuangan, perang dan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh umat Islam didalam menegakan syariat Islam dan membela kaum Muslimin. Untuk itu umat Islam harus mengenal dengan baik musuh-musuhnya, yang senantiasa menjadi penentang sepanjang sejarah perjuangan kaum muslimin.
Kemudian, kesimpulan tersebut diatas, bukan dalam bentuk wacana yang bersifat teoritis dari KH. Noer Alie, tetapi dilakukan dalam bentuk kebijakan dan perbuatan didalam perjuangan selama hidupnya.
Pokok-pokok pikiran, yang kami kemukakan diatas, akan kami uraikan secara terinci dibawah ini sehingga para pembaca mendapatkan gambaran yang lengkap tentang jejak dan langkah KH. Noer Alie.
Akhirnya, sudah nasib semua tulisan akan senantiasa mengalami kelemahan dan kekurangan atau kesalahan, karenanya kami akan selalu menerima segala sanggahan dan kritikan dari para pembaca tulisan ini.
Wabillahit taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
II.         ISLAM AGAMA SEMPURNA
KH. Noer Alie dalam menentukan kebijakan dan langkah perjuangannya senantiasa melingkupi masalah-masalah spiritual (ruhaniyah), moral (akhlaq), politik (as siyasah), ekonomi (al iqtishadiyah), sosial (al ijtimaiyah), pendidikan (al tarbiyah), dan jihad (perjuangan, perang, amar ma’ruf dan nahi munkar). Dari kebijakan dan langkah perjuangannya, beliau membuktikan didalam realitas kehidupan bahwa Islam adalah agama sempurna, yang mengatur setiap segi kehidupan manusia.
Kemudian Berbicara tentang esensi agama Islam, kami akan mulai dari al Quran, surat al Maidah: 3, yang merupakan wahyu terakhir, yang diterima oleh Rasulullah s.a.w. di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah 10 Hijrah; yang artinya: “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan kepadamu agamamu dan Aku telah mencukupkan nikmat-Ku atasmu, dan Aku telah me-ridhoi Islam menjadi agama bagimu”. ( Moenawar Chalil; 1969 : 133-142 ).
Pengertian ayat ini menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur setiap segi kehidupan manusia, dengan contoh tauladan Rasulullah s.a.w., sehingga umat Islam tidak perlu mengambil undang-undang atau peraturan-peraturan lain dari manapun. ( Ibnu Katsir; 1969 : 12 ).
Islam sebagai agama yang sempurna,menurut Abul Ala Maududi adalah merupakan satu sistem kehidupan yang lengkap dan terdiri atas sub-sistem; spiritual, moral, politik, ekonomi dan sosial. (Abul A la Maududi; 1969 : vii)
Sistem kehidupan Islam yang lengkap dan paripurna itu wajib diterima secara utuh oleh setiap Muslim, sebagaimana diperintahkan Allah S.W.T. di dalam al Qur an, surat : al Baqarah : 208 : (artinya): “Hai orang-orang yang 
beriman, masuklah kamu dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah (kebijakan-kebijakan) syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Pengertian ayat ini menurut Mohammad Ali Shabuni dalam tafsirnya adalah sebagai berikut : “Masuklah kamu ke dalam Islam dengan menerima semua hukum-hukumnya dan segala peraturan–peraturannya”. (Mohammad Ali Shabuni; 1981: 133).
Sayed Qutb berkomentar lebih jauh  sebagai berikut: “Islam adalah suatu keseluruhan (sistem) yang lengkap, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Jadi Islam dapat diambil secara keseluruhan atau ditinggalkan secara keseluruhan”. (Sayed Qutb; 1981 : 114-115).
Oleh karena itu, umat Islam terlarang menerima Islam secara parsial, menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain, sebagaimana dilarang beriman separuh dan kafir separuh terhadap hukum Islam itu seperti tertuang dalam Al Quran, surat  al Baqarah : 25 (artinya): “Apakah kamu akan percaya hanya kepada sebagian dari isi Al Kitab (al Quran) itu dan yang sebagian lagi kamu ingkari? Maka tidak ada balasan orang yang berbuat demikian, kecuali kehinaan (kehancuran) hidup di dunia dan diakhirat (hari kiamat) mereka dilemparkan kepada azab yang pedih”. (Abdul Qadir Audah; 1965 : 137-138).
I.            PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN LANGKAH AWAL MENEGAKAN ISLAM
KH. Noer Ali dalam memprioritaskan pendirian pondok pesantren sebagai pusat pendidikan Islam, bukan semata-mata melaksanakan saran dari gurunya, tetapi beliau mengerti dan sadar bahwa pondok pesantren, lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mampu bertahan dan tetap berdiri dengan tegar dalam menghadapi serangan penjajah Kristen Barat (Portugis, Spanyol dan Belanda) serta penjajah Shinto / Budha Timur (Jepang) selama lebih dari 400 tahun; demikian tulis Wartheim, penulis sejarah bangsa Eropa tentang pondok pesantren di Indonesia.
1.     Sejarah Pondok Pesantren
Pada periode Mekah, dimana umat Islam merupakan golongan minoritas-tertindas, maka Rasulullah s.a.w. memulai pendidikan kader Islam secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam in Abi Arqam, di daerah Shafa, tidak jauh dari Masjidil Haram. Kader-kader Islam yang dididik di sini selama tiga tahun yaitu antara lain: Abu Bakar Siddiq, Umar Ibnul Khattab, Ali Bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Saad bin Zaid, Abdurrahman bin ‘Auf, Arqam bin Abi Arqam, Mas’ud bin Amir, Bilal bin Dabah, Amar bin Yasser dan sepuluh orang lainnya. Kader-kader Islam dari rumah Arqam ini, kemudian mengembangkan Islam ke wilayah-wilayah kekuasaan Raja Persia di timur dan Kaisar Romawi di barat, hanya dalam waktu 35 tahun saja. (Abdullah Nasheh ‘Ulwan; 1981 : 1082-1083).
Pada periode Madinah, dimana umat Islam menjadi penguasa Negara Islam Madinah, Rasulullah s.a.w. telah menjadikan Masjid Nabawi sebagai pusat pendidikan Islam dan bagi para siswa/mahasiswa yang memperdalam tentang agama Islam, disediakan tempat ruangan disebelah utara Masjid, yang diberi nama “Assuffah”. (Sidi Gazalba; 1962: 22). Masjid dengan As Suffahnya, sebagai pusat pendidikan Islam, dilanjutkan pada zaman pemerintahan Islam Khualafa al Rasyidin selama tigapuluh tahun (632-661).
Kemudian pada zaman pemerintahan Islam Bani Umayyah di Syria (661-750), di Spanyol (711-1492); dan Bani Abbasyiyah di Irak (750-1492); Bani Fathimiyyah di Mesir  (919-1290); Bani Seljuk di Turki (1105-1290) serta Bani Utsmany di Turki (1290-1919), pendidikan Islam telah berkembang  dengan nama “Al Khuttab” (semacam Taman Kanak-Kanak), Madrasah dengan masjidnya (untuk tingkat sekolah menengah),”Darul Hikmah” atau “Duwarul ‘Ilm” (semacam perguruan tinggi dengan bermacam disiplin ilmu). (Asma Hassan Fahmi; 1979 : 29-49).
Di Indonesia Madrasah dengan masjidnya, yang secara esensial sama dengan “Masjid Nabawi dengan  Suffahnya” di Zaman Nabi s.a.w. dan Khualaf al Rasyidin dinamakan “Pondok Pesantren” Pendididikan Pondok Pesantren mulai didirikan dan dikenal sejak zaman pemerintahan Islam Perlak dan Samudera Pasai (1078-1413) di Aceh timur dengan ulama sebagai pendiri dan pendidiknya seperti Teungku di Geureudong, Teungku Cot mamplam dan lain-lain. Pada zaman Iskandar Muda, pondok pesantren di Sumatera mengalami perkembangan yang sangat pesat sekali dengan nama ulama yang memimpinnya seperti Syeikh Nuruddin Arraniri, Syeik Ahmad Khatib Langin, Syeikh Syamsuddin as Sumaterawi, Syeikh Hamzah Fansuri,Syeikh Abdur Rauf, Syeikh Burhanuddin. (Mahmud Yunus;1982 :172).
Di pulau Jawa pondok pesantren pertama didirikan di Ampel Surabaya oleh Maulana Malik Ibrahim, yang datang ke Surabaya pada 1399 dan wafat 1419. Sebelumnya ia adalah qadhi besar dari Kesultanan Samudera Pasai. Pondok Pesantren Ampel dilanjutkan dan disempurnakan oleh Raden Rahmat (sunan Ampel)  dan anak Maulana Malik Ibrahim. Dari pesantren Ampel lahirlah sunan Bonang, sunan Drajat, sunan Giri, sunan Gunung Jati, sunan Kudus, sunan Muria dan sunan Kalijaga.
Pondok pesantren bukan hanya dikenal di Sumatera dan pulau Jawa atau Indonesia pada umumnya, tetapi juga terdapat di Pattani (Thailand Selatan), Malaysia, Brunai Darus Salam, di Mindanao dan Sulu (Philipina Selatan). Pondok pesantren (madrasah dan Masjid) sebagai pusat pendidikan Islam, menurut Roger Garaudy, juga terdapat di Fes Maroko dengan Masjid Karawiziyn, di Samarkand dan Cordova Spanyol. (Roger Garaudy; 1982 : 117).
Jadi Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, yang meniru lembaga pendidikan Islam zaman Rasulullah s.a.w. dan Khulafa al Rasyidin di Madinah yaitu Masjid Nabawi dengan as  Suffahnya”.
Kemudian di Indonesia perkembangan pondok pesantren yang didirikan dan dikelola oleh umat Islam (swasta) sampai sekarang ini menurut data Departemen Agama RI berjumlah 17.000 buah pondok pesantren. Dan menurut pengalaman tiap pondok pesantren mempunyai santri  antara 300-1500 orang santri. Apabila setiap pondok pesantren dipukul rata mempunyai santri 500 orang, maka berarti jumlah santri di Indonesia sebanyak 17.000 x 500 santri = 8.500.000 santri.
2.     Fungsi Pondok Pesantren.
Di dalam pondok pesantren ada dua potensi sumber daya manusia yaitu ulama dan santri. Ulama, yang menjadi pemimpin dan pendidik para santri dan masyarakat sekitar pondok pesantren, berfungsi sebagai pewaris para Nabi; sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.dalam Haditsnya: “Para ulama itu adalah pewaris Nabi-Nabi”. (H.R. Ibnu Hajjar). Warisan yang diberikan kepada ulama bukan berbentuk kekayaan dan kekuasaan, tetapi berbentuk agama Islam dengan dua kitabnya yakni al Qur an dan al Hadits, sumber nilai dan hukum yang wajib dijadikan pedoman di dalam prikehidupan dan penghidupan manusia.
Kemudian fungsi pondok pesantren telah diatur di dalam al Qur an, surat at Taubah: 12: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (Islam) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Pengertian ayat ini adalah sebagai berikut:
(a)  Harus adanya pembagian tugas di dalam kehidupan umat Islam, yaitu ada yang menjadi militer dan ada yang menjadi pendidik/da’i.
(b)  Calon terdidik/santri harus memperdalam agama Islam, yang esensinya terdiri atas: masalah spiritual, moral, politik,ekonomi dan sosial.
(c)   Para santri yang telah tamat, wajib menyebarkan Islam (dakwah) dan berjuang untuk berdirinya masyarakat Islam. (Sholeh Iskandar; tanpa tahun: 2).
3.     Pondok Pesantren dan Perjuangan Politik di Indonesia.
Para pedagang dan muballigh Muslim telah datang dipantai Barat Sumatera pada 674. (Thomas W.Arnold; 1981 : 317-318); dan pada 717 di Sriwijaya. (Hamka; 1976 : 55). Waktu-waktu masuknya umat Islam ke Indonesia tersebut terjadi dalam priode pemerintahan Islam Bani Umayyah di Syria, yang berkuasa (661-750) dengan daerah kekuasaannya meliputi seluruh Timur Tengah.
Pola Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang dan muballigh Muslim dengan cara membebaskan para budak pribumi, menikahi wanita-wanita pribumi, bersahabat dengan para penguasa setempat, berdakwah dengan lisan dan perbuatan. Pola Islamisasi tersebut dilakukan selama berpuluh-puluh tahun sampai terbentuknya masyarakat Islam yang luas, dan atas persetujuan mereka, maka berdirilah Pemerintahan Islam (Kesultanan) dengan kepala negaranya disebut Sultan.
Berdirinya Kesultanan Perlak di Aceh timur, berlaku pola Islamisasi seperti yang disebutkan di muka: Islam datang di Perlak pada 1028, dan
proses Islamisasi berlangsung selama 50 tahun; kesultanan Perlak baru berdiri pada 1078.
Umat Islam datang ke Indonesia bukan sebagai penakluk (penjajah) seperti yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugis serta Belanda pada abad XVI atau menggunakan pedang sebagai alat Kristenisasi di Indonesia. (Thomas W. Arnold; 1981 : 319).
Oleh karena itu berdirinya pemerintahan Islam (kesultanan) di Indonesia menempuh pola sebagaimana yang telah disebutkan di muka; seperti antara lain: berdirinya kesultanan Perlak dan Samudera Pasai di Aceh timur; Kesultanan Demak di Jawa Tengah; Kesultanan Ternate di Maluku; Kesultanan Banjar di Kalimantan; Kesultanan Gowa di Sulamesi.
Berdasarkan fakta sejarah yang telah diungkapkan tersebut, maka peranan ulama sebagai muballigh didalam berdirinya kesultanan-kesultanan di Indonesia sangat penting. Bahkan setelah kesultanan-kesultanan itu berdiri, para ulama ada yang menjabat sebagai Sultan seeperti Sultan Malkuz Zahir II dari Samudera Pasai, Raden Fatah (santri dari Sunan Ampel) menjadi Sultan Demak; ada yang menjadi penasehat Sultan seperti Syeikh Yusuf dengan Sultan Ageng Tirtayas dari Banten; Pangeran Antasari dengan Sultan Hidayat dari Banjarmasin; Habib Abdurrahman al Zahir dengan Sultan keturunan Sultan Iskanda Muda Mahkota Alam; dan banyak lagi yang lain.
Selain itu, sebagaimana telah diungkapkan dalam sejarah pondok pesantren, sebagian besar berdirinya kesultanan Islam di Indonesia, didahului oleh berdirinya pondok pesantren sebagai sarana dakwah atau sarana Islamisasi masyarakat. Karenanya keterlibatan ulama dan santri didalam perjuangan politik atau jihad/perang, khususnya perang menentang serangan  dan pengkhianatan musuh-musuh Islam baik yang dilakukan oleh penguasa Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Kristen maupun Shinto.
Kemudian di bawah ini kami akan menuliskan data-data tentang peran kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara yang dipimpinnya dari serangan musuh; yaitu antara lain:
a.      Kesultanan Perlak yang berdiri sejak 1078, disaat sultan Mahdum Alaiddin Malik Ibrahim Asyah berkuasa (1275-1280) telah diserang oleh Raja Sriwijaya-Budha dari Palembang. (Abubakar Atjeh : 1982 : 14).
b.     Kesultanan Samudera Pasai yang berdiri sejak 1297; dan disaat Sultan Zainal Abidin (masih kanak-kanak) berkuasa pada 1349 telah diserang oleh Raja Siam-Budha dari Burma, dan takluk kepadanya. Selang beberapa tahun kesultanan Samudera Pasai diserang pula oleh Raja Majapahit-Hindu dari Jawa. Nasib malang tak kunjung berhenti, sehingga pada 1405 kesultanan Samudera Pasai diserang oleh Kaisar Cina-Kong Hu Cu di bawah pimpinan Jenderal Cheng Ho. Dan Samudera Pasai menjadi negara protektorat Kekaisaran Cina sampai 1434. ( Hamka; 1976 : 78-85 ).
c.      Raden Fatah  (santri dari sunan Ampel dan anak dari Prabu Wijaya V-Raja Majapahit-dari isteri Muslimah (Campa – Samudera Pasai) telah diangkat menjadi Adipati di Bintoro (Demak) pada 1477 oleh Raja Majapahit. Pada tahun 1478 Sri Girindrawardana (menantu Prabu Wijaya V) dari Jenggala (Doha) melakukan kudeta terhadap Raja Majapahit (Prabu Wijaya V) tidak berhasil, karena ditumpas oleh Raden Fatah (Adipati Demak). Dengan kemenangan ini maka Raden Fatah diangkat menjadi Sultan Demak. Kemudian Sri Girindrawardana yang masih berkuasa di Jenggala berkonspirasi dengan Portugis di Malaka untuk menaklukan Kesultanan Demak. Akibatnya Sultan Raden Fatah menaklukkan Sri Girindrawardana pada 1525. (Saifuddin Zuhri; 1981 : 242-246).
Selanjutnya invasi penguasa kolonial Kristen Eropa, baik Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris ke Indonesia, menurut Th.Muller Kruger (Guru besar Sekolah Tinggi Kristen Jakarta) dan d Albuquerque (Komandan pasukan Portugis di Malaka pada 1511) adalah melanjutkan “Perang Salib”, selain mereka melakukan kolonialisasi, juga melakukan Kristenisasi (Th.Muller Kruger; 1959 : 18-19; dan Hamid Algadri; 1984 : 76-77). 
a. Begitu penguasa kolonial Portugis berkuasa di Malaka 1511 dan berkonspirasi dengan Sri Girindrawardana Jenggala, maka Sultan Raden Fatah dari Demak mengirimkan pasukannya menyerang Portugis  di Malaka 1513. ( Nugroho Notosusanto; 1977 : 16 ).
a.      Tatkala Gubernur de Masquite (penguasa kolonial Portugis di Malaka) membunuh secara keji Sultan Khaerun dari Ternate pada 1570, maka Sultan Babullah, putera Sultan Khaerun, melakukan “Perang Sabil” (perang suci Islam) secara besar-besaran terhadap Portugis, sehingga pada 1575 penguasa kolonial Portugis di Maluku menyerah kalah tanpa syarat. (Hamka;1976 : 219-230).
b.     Kesultanan Makasar yang berdiri sejak 1605, dan tatkala sultan Hasanuddin berkuasa, maka penguasa kolonial VOC Belanda yang berkuasa di Batavia (Jakarta), telah berulang kali menyerang kesultanan Makasar: pertama pada 1633, Sultan menang; kedua pada 1654, Sultan menang lagi; ketiga pada 1666, pasukan kolonial VOC Belanda menang (Saifuddin Zuhri; 1981 : 442). Dan pada 1667, Sultan Hasanuddin tertangkap. (Hamka; 1976 : 298-299).
c.      Sultan Cakraningrat I (Trunojoyo) dari Madura  dibantu oleh santri-santri Sunan Giridan Karaeng Galesong (mantan komandan pasukan Sultan Hasanuddin Makasar) berperang mewalan pasukan kolonial VOC Belanda dan pasukan Amangkurat II dari Mataram pada 1676, pasukan Sultan menang. Tetapi pada perang 1680, Sultan tertangkap dan Karaeng Galesong gugur, pasukan santri Giri di bunuh semua. (Hamka;1976 : 318-327).
d.     Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dan Syeikh Yusuf dari Makasar (menantu Sultan Ageng) pada 1680 telah menyerang pasukan kolonial VOC Belanda di Banten Pasukan Sultan Ageng terdesak sampai ke Lebak (Rangkasbitung), dan dalam pertempuran 1683, Sultan Ageng dan Syeikh Yusuf tertangkap; Sultan Ageng ditahan di Jakarta dan wafat 1695 dan Syeikh Yusuf dibuang ke Afrika Selatan (jajahan Belanda).
e.      Pangeran Diponegoro, yang bergelar “Sultan Erucokro Sayidina Panatagomo Khalifah Rasulullah”, bersama kiayi Mojo (Solo), Pangeran/Kiayi Abu Bakar (Kedu) dan Alibasa Abdul Musthafa (Sentot) dari Yogyakarta berperang dengan pasukan kolonial Hindia Belanda selama lima tahun (1825-1830). Perang dahsyat, dengan terbunuhnya ribuan pasukan Sultan Diponegoro dan dimenangkan oleh Belanda dengan khianat dan keji, menangkap Sultan Diponegoro dan memenjarakannya di Menado, lalu di Makasar dan wafat sebagai syuhada pada 1855, setelah 25 tahun mendekam dalam penjara dan dalam usia 70 tahun. (Sagimun MD; 1986 : 255-303).
f.       Perang Padri yang dipimpin oleh para ulama seperti antara lain Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh, dan berjumlah delapan orang  ulama serta dikenal dengan gelar “Harimau Nan Selapan”, kemudian dipimpin oleh Imam Bonjol (santri dari Tuanku Nan Renceh) telah melakukan perang maraton dahsyat melawan pasukan kolonial Hindia Belanda dan penghulu adat di Sumatera Barat selama 28 tahun (1809-1837). Ribuan pasukan Padri telah terbunuh, tetapi kemenangan berada dipihak Belanda dengan cara licik dan khianat dengan menangkap Imam Bonjol pada 1837 dan memenjarakannya : mulai di Cianjur (Jawa Barat), dipindahkan ke Ambon dan terakhir di Menado serta wafat sebagai syuhada di penjara pada 1864, setelah menjalani hukuman 27 tahun lamanya. (Mardjani Martamin; 1985 : 88-108; dan Muhammad Radjab; 1964 : 313-337).
g.     Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, seorang ulama dan bergelar “Khalifatul Mukminin” didampingi oleh Kiayi Demang Lehmana, Kiayi Haji Buyasin, Kiayi Lang Lang, Pangeran Amrullah mulai berperang melawan pasukan kolonial Hindi Belanda pada 1859 di Banjarmasin. Perang maraton dan kejam, yang meluas seluruh Kalimantan Selatan dan Timur, dimana para tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dan keadilan seperti Khalifatul Mukminin Antasari, Kiayi Demang Lehmana, Kiayi Haji Buyasin, Pangeran Abdullah dan pengganti-penggantinya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (putera Khalifah) gugur di medan pertempuran sebagai syuhada,  baru berakhir tahun 1905. Jadi selama 46 tahun pasukan Khalifatul Mukminin Antasari berperang melawan Belanda tanpa menyerah kalah. (Helius Syamsuddin; 1982 : 82-83, 88-100; dan Nugroho Notosusanto; 1987 : 168).
Perang Aceh, Kesultanan Aceh berdiri sejak 1507, yang dipimpin oleh Sultan Ali al Moghayat Syah dan titik kejayaannya pada Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang berkuasa 1607-1636. Setelah itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran; tetapi pada akhir 1870, tatkala Sultan Aceh yang berumur 14 tahun, ulama besar habib Abdurrahman al Zahir, yang berhasil  menyatukan Aceh, diangkat menjadi Perdana Menteri Kesultanan Aceh. Kemudian penguasa kolonial Hindia Belanda. Dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Loudon di Batavia (Jakarta) memutuskan untuk menaklukan Aceh. Maka ia membentuk pasukan kolonial yang sangat besar, dipimpin oleh Jenderal J.H.R.Kohler dan pada 26 Maret 1873, pasukan Kohler 
a.      berhasil merebut Masjid, yang semula diduga sebagai istana Sultan. Tetapi begitu Kohler mengamati di sekeliling Masjid , ia ditembak oleh pasukan Sultan dan gugur. Perang maraton, kejam dan sadis  dengan terbunuhnya ratusan ribu rakyat Aceh menjadi syuhada, tidak berhenti pada tahun 1913 dengan syahidnya Teungku di Barat dan Teungku di Mata sebagai pemimpin perang gerilya, tetapi diteruskan dengan perang gerilya di seluruh Aceh oleh rakyat Aceh, dimana pada tahun 1925 meletus menjadi perang terbuka, terus sampai 1933.dan perang gerilya rakyat Aceh melawan pasukan kolonial Hindia Belanda baru berakhir pada tahun 1942, setelah Belanda menyerah tanpa syarat terhadap pasukan kolonial fasis Jepang. Jadi perang Kesultanan Aceh melawan pasukan kolonial Hindia Belanda  adalah perang terlama yaitu 69 tahun (1873-1942). (Tk.Ismail Yakub; 1979 : 2-3; dan Paul van T.Veer; 1985 : 32-37, 200-217, 218-246).
b.     Penguasa kolonial fasis Jepang, yang kejam dan sadis, yang berkuasa di Indonesa selama tiga tahun (1942-1945), tidak ada golongan manapun yang berani menentang dan berperang melawan Jepang, baik golongan Hindu, Budha, Kristen, Nasionalis maupun Komunis, kecuali umat Islam dengan ulama dan santrinya. PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dibawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureuh, Teungku Abdul Wahab, pada pertengahan tahun 1942 mengangkat senjata menyerang Jepang di daerah Baya dan Pandrah. (M.Nur el Ibrahimi; 1980 : 23-24). Bahkan Teungku Abdul Jalil,pimpinan Pondok Pesantren Cot Pling dan seratus orang santrinya menyerang pasukan kolonial fasis Jepang pada 10 Nopember 1942; semua pasukan pesantren Cot Pling gugur sebagai syuhada. (Majalah Harmonis; 1989 : 44-45). Selanjutnya Kiayi Zainal Musthafa, pimpinan Pondok Pesantren Singaparna-Tasikmalaya, dengan 86 orang santrinya mengangkat senjata berperang melawan pasukan kolonial fasis Jepang. Dan seluruh pasukan Kiayi Zainal Musthafa gugur sebagai syuhada. ( Harry J.Benda; 1980 : 194-196 ).
Berdasarkan uraian dimuka, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.     Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, yang paling tua dikenal bangsa Indonesia setelah Islam masuk kesini, sejak abad VII Pondok pesantren dengan ulama dan santrinya merupakan pusat dakwah dan Islamisasi masyarakat Indonesia selama berpuluh-puluh tahun sampai berdirinya kesultanan-kesultanan Islam secara mandiri dari mulai Aceh di barat sampai Ternate di timur.Karenanya pondok pesantren dengan ulama dan santrinya tidak bisa dipisahkan dari perjuangan politik umat Islam dari sejak berdirinya Kesultanan Perlak sampai hengkangnya penguasa kolonial fasis Jepang dari Indonesia.
2.     Jihad /perang Kesultanan dan para ulama serta santrinya dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan pemerintahan Islam dari serangan musuh, baik dari Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Kristen-Katholik, Kristen-Protestan dan Shinto, yang berlangsung selama 689 tahun (1275-1944) tanpa kenal henti, walau kekalahan demi kekalahan diderita oleh umat Islam. Semboyan terkenal dikalangan santri “Isy kariman au mut syahidan” (Hidup mulia atau mati syahid) itulah dasar motivasi jihad/perang yang dilakukan pasukan Sultan, ulama dan santri.
3.     Oleh karena itu musuh-musuh Islam, khususnya kaum Kristen sampai saat ini tidak pernah senang terhadap pondok pesantren, sehingga mereka melakukan strategi dan taktik untuk menghancurkan pondok pesatren (benteng terakhir perlawanan umat Islam). Strategi global, yang diletakkan oleh Barat (Kristen dan Yahudi) yaitu “Memerangi Terorisme Internasional” adalah salah satu bentuk strategi untuk menghancurkan Pondok Pesantren. Karenanya apabila pondok pesantren sekarang dicurigai, diobok-obok oleh kaki-tangan Barat adalah dalam rangka melaksanakan strategi tersebut.                          
I.            PERJUANGAN POLITIK MEMPUNYAI KEDUDUKAN STRATEGIS
Terjunnya KH. Noer Alie kedalam perjuangan politik bukan terbawa arus oleh derasnya gelombang politik yang sedang melanda bangsa Indonesia, disebabkan hancurnya tembok penjajahan Barat Kristen (Belanda) dan Timur Shinto / Budha (Jepang) yang telah membelenggu anak bangsa lebih dari 400 tahun, tetapi karena kesadaran yang tinggi dari beliau bahwa dengan umat Islam memegang politik, maka syariat Islam bisa dilaksanakan secara menyeluruh dan Negara yang adil, makmur dan sejahtera, dengan penuh limpahan ridho Allah S.W.T (Baldah Thayyibah wa Rabbun ghafur) bisa terwujud.
Selanjutnya, dari subsistem-subsistem (spiritual, moral, politik, ekonomi, dan sosial) tersebut diatas, maka subsistem politik sangat strategis, baik dengan pendekatan “konstruksi-konstruksi developmental dan struktural-fungsional” maupun “Syar’i”. Apabila kita berbicara tentang kekuasaan didalam kehidupan masyarakat, maka kita bisa memandangnya dari bermacam sudut pendekatan. Harold D. Laswell menggunakan pendekatan “konstruksi-konstruksi developmental” (developmental constructs) dimana akhirnya berkesimpulan bahwa adanya sekelompok elite di dalam kehidupan masyarakat, yaitu suatu kelas yang terdiri atas mereka yang berhasil mencapai dominasi dalam masyarakat, dalam arti bahwa nilai-nilai (values) yang mereka bentuk (ciptakan, hasilkan) mendapat penilaian tinggi dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai tersebut mungkin kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain, mereka berhasil memilikinya paling banyak, disebut “elite”; orang banyak selebihnya merupakan massa. Elite berhasil memiliki sebagian terbanyak dari nilai-nilai, karena kecakapan serta sifat-sifat kepribadian mereka.
Berdasarkan kedudukan yang unggul itu, para anggota elite ikut secara aktif dalam pengambilan keputusan-keputusan, yaitu penentuan-penentuan kebijaksanaan yang menyimpulkan sanksi-sanksi yang kuat. Sanksi-sanksi tersebut berwujud “perampasan” (derivation) dari satu atau lebih, bahkan mungkin dari semua nilai-nilai yang ada terhadap mereka yang menentang keputusan-keputusan itu.
Karena nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu banyak, maka terdapat pula “pluralisme elite”. Yang penting sekarang ini ialah bahwa terdapat hirarki antara pelbagai elite itu. Elite yang paling unggul kedudukannya ialah kelompok yang mempunyai “kekuasaan politik”, sebab di lapangan politik keputusan-keputusan disertai dengan sanksi yang paling kuat. Keputusan-keputusan politik mengikat seluruh masyarakat, sebab kekuasaan politik melahirkan keputusan-keputusan yang wujudnya secara formal adalah paling otoritatif di antara nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Di samping itu, kekuasaan politik sebagai nilai yang mempunyai daya “perekat” (aglutinating effect), yang mengakibatkan bahwa nilai-nilai yang lain mengikutinya. (Soelaeman Soemardi, 1984 hal. 34-35).
Talcott Parson dalam menganalisa tentang kekuasaan di dalam masyarakat menggunakan pendekatan “struktur fungsional”, di mana akhirnya ia menemukan adanya bermacam “golongan kepentingan” (interest group) seperti antara lain keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Golongan kepentingan ini merupakan subsistem-subsistem di dalam sistem kemasyarakatan; dan kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki oleh subsistem itu sebagai suatu fasilitas sosial atau sumber sosial. Kekuasaan mempunya fungsi sosial, yaitu fungsi untuk seluruh masyarakat sebagai suatu sistem. Fungsi kekuasaan dalam subsistem politik adalah seperti fungsi uang dalam ekonomi, atau fungsi kesatuan-kesatuan cadangan dalam suatu pranata kemiliteran. Tetapi jika dibandingkan dengan subsistem-subsistem lainnya, subsistem politik adalah paling umum dalam pola-pola normatifnya. Keputusan-keputusan yang diambil dalam rangka politik, mempunya akibat-akibat yang langsung dan memang sengaja mempengaruhi seluruh masyarakat. Politik mempunyai pengawasan tertinggi atas fasilitas-fasilitas sosial dan akhirnya sasaran solidaritasnya adalah paling mencakup dan meluas. (Soelaeman Soemardi, hal. 38-39).
Dengan demikian kekuasaan politik, baik dilihat dari pendekatan konstruksi-konstruksi developmental maupun struktural-fungsional adalah paling dominan di dalam kehidupan masyarakat, dibandingkan dengan kekuasaan-kekuasaan lainnya. Karenanya kekuasaan politik mempunyai posisi strategis dalam menentukan berbagai aspek kehidupan masyarakat secara nasional.
Dalam pengertian dan ucapan seperti tersebut di atas, mengapa Rasulullah S.A.W., mengubah strategi perjuangan dari “strategi da’wah” yang ia terapkan selama tiga belas tahun, bukan saja sistem kehidupan Islam secara utuh tidak bisa dijalankan, para pengikut Islam dari 250 orang itu pun terdiri atas masyarakat kelas bawah, tetapi juga menjadi sasaran penyerangan dari kaum Quraisy Mekah.
Berbeda sekali dengan penerapan “strategi politik” selama sepuluh tahun di Madinah. Hijrah ke Madinah terjadi pada tahun 622. menurut Ahmad Ibrahim Syarif, pekerjaan pertama dan utama yang bersangkutan dengan kehidupan bermasyarakat, Nabi S.A.W.. Telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
·        Membentuk persaudaraan Islam antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar sebagai umat yang mesra dan akrab, dengan Nabi S.A.W.. Sebagai pemimpin.
·        Membentuk kontrak sosial dengan piagam yang bernama “Shahiefah” dengan seluruh penduduk Madinah Muslim dan non Muslim. Shahiefah ini kemudian dikenal dengan nama “Piagam Madinah”.