Rabu, 01 Juni 2011

a.      berhasil merebut Masjid, yang semula diduga sebagai istana Sultan. Tetapi begitu Kohler mengamati di sekeliling Masjid , ia ditembak oleh pasukan Sultan dan gugur. Perang maraton, kejam dan sadis  dengan terbunuhnya ratusan ribu rakyat Aceh menjadi syuhada, tidak berhenti pada tahun 1913 dengan syahidnya Teungku di Barat dan Teungku di Mata sebagai pemimpin perang gerilya, tetapi diteruskan dengan perang gerilya di seluruh Aceh oleh rakyat Aceh, dimana pada tahun 1925 meletus menjadi perang terbuka, terus sampai 1933.dan perang gerilya rakyat Aceh melawan pasukan kolonial Hindia Belanda baru berakhir pada tahun 1942, setelah Belanda menyerah tanpa syarat terhadap pasukan kolonial fasis Jepang. Jadi perang Kesultanan Aceh melawan pasukan kolonial Hindia Belanda  adalah perang terlama yaitu 69 tahun (1873-1942). (Tk.Ismail Yakub; 1979 : 2-3; dan Paul van T.Veer; 1985 : 32-37, 200-217, 218-246).
b.     Penguasa kolonial fasis Jepang, yang kejam dan sadis, yang berkuasa di Indonesa selama tiga tahun (1942-1945), tidak ada golongan manapun yang berani menentang dan berperang melawan Jepang, baik golongan Hindu, Budha, Kristen, Nasionalis maupun Komunis, kecuali umat Islam dengan ulama dan santrinya. PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dibawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureuh, Teungku Abdul Wahab, pada pertengahan tahun 1942 mengangkat senjata menyerang Jepang di daerah Baya dan Pandrah. (M.Nur el Ibrahimi; 1980 : 23-24). Bahkan Teungku Abdul Jalil,pimpinan Pondok Pesantren Cot Pling dan seratus orang santrinya menyerang pasukan kolonial fasis Jepang pada 10 Nopember 1942; semua pasukan pesantren Cot Pling gugur sebagai syuhada. (Majalah Harmonis; 1989 : 44-45). Selanjutnya Kiayi Zainal Musthafa, pimpinan Pondok Pesantren Singaparna-Tasikmalaya, dengan 86 orang santrinya mengangkat senjata berperang melawan pasukan kolonial fasis Jepang. Dan seluruh pasukan Kiayi Zainal Musthafa gugur sebagai syuhada. ( Harry J.Benda; 1980 : 194-196 ).
Berdasarkan uraian dimuka, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.     Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, yang paling tua dikenal bangsa Indonesia setelah Islam masuk kesini, sejak abad VII Pondok pesantren dengan ulama dan santrinya merupakan pusat dakwah dan Islamisasi masyarakat Indonesia selama berpuluh-puluh tahun sampai berdirinya kesultanan-kesultanan Islam secara mandiri dari mulai Aceh di barat sampai Ternate di timur.Karenanya pondok pesantren dengan ulama dan santrinya tidak bisa dipisahkan dari perjuangan politik umat Islam dari sejak berdirinya Kesultanan Perlak sampai hengkangnya penguasa kolonial fasis Jepang dari Indonesia.
2.     Jihad /perang Kesultanan dan para ulama serta santrinya dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan pemerintahan Islam dari serangan musuh, baik dari Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Kristen-Katholik, Kristen-Protestan dan Shinto, yang berlangsung selama 689 tahun (1275-1944) tanpa kenal henti, walau kekalahan demi kekalahan diderita oleh umat Islam. Semboyan terkenal dikalangan santri “Isy kariman au mut syahidan” (Hidup mulia atau mati syahid) itulah dasar motivasi jihad/perang yang dilakukan pasukan Sultan, ulama dan santri.
3.     Oleh karena itu musuh-musuh Islam, khususnya kaum Kristen sampai saat ini tidak pernah senang terhadap pondok pesantren, sehingga mereka melakukan strategi dan taktik untuk menghancurkan pondok pesatren (benteng terakhir perlawanan umat Islam). Strategi global, yang diletakkan oleh Barat (Kristen dan Yahudi) yaitu “Memerangi Terorisme Internasional” adalah salah satu bentuk strategi untuk menghancurkan Pondok Pesantren. Karenanya apabila pondok pesantren sekarang dicurigai, diobok-obok oleh kaki-tangan Barat adalah dalam rangka melaksanakan strategi tersebut.                          
I.            PERJUANGAN POLITIK MEMPUNYAI KEDUDUKAN STRATEGIS
Terjunnya KH. Noer Alie kedalam perjuangan politik bukan terbawa arus oleh derasnya gelombang politik yang sedang melanda bangsa Indonesia, disebabkan hancurnya tembok penjajahan Barat Kristen (Belanda) dan Timur Shinto / Budha (Jepang) yang telah membelenggu anak bangsa lebih dari 400 tahun, tetapi karena kesadaran yang tinggi dari beliau bahwa dengan umat Islam memegang politik, maka syariat Islam bisa dilaksanakan secara menyeluruh dan Negara yang adil, makmur dan sejahtera, dengan penuh limpahan ridho Allah S.W.T (Baldah Thayyibah wa Rabbun ghafur) bisa terwujud.
Selanjutnya, dari subsistem-subsistem (spiritual, moral, politik, ekonomi, dan sosial) tersebut diatas, maka subsistem politik sangat strategis, baik dengan pendekatan “konstruksi-konstruksi developmental dan struktural-fungsional” maupun “Syar’i”. Apabila kita berbicara tentang kekuasaan didalam kehidupan masyarakat, maka kita bisa memandangnya dari bermacam sudut pendekatan. Harold D. Laswell menggunakan pendekatan “konstruksi-konstruksi developmental” (developmental constructs) dimana akhirnya berkesimpulan bahwa adanya sekelompok elite di dalam kehidupan masyarakat, yaitu suatu kelas yang terdiri atas mereka yang berhasil mencapai dominasi dalam masyarakat, dalam arti bahwa nilai-nilai (values) yang mereka bentuk (ciptakan, hasilkan) mendapat penilaian tinggi dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai tersebut mungkin kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain, mereka berhasil memilikinya paling banyak, disebut “elite”; orang banyak selebihnya merupakan massa. Elite berhasil memiliki sebagian terbanyak dari nilai-nilai, karena kecakapan serta sifat-sifat kepribadian mereka.
Berdasarkan kedudukan yang unggul itu, para anggota elite ikut secara aktif dalam pengambilan keputusan-keputusan, yaitu penentuan-penentuan kebijaksanaan yang menyimpulkan sanksi-sanksi yang kuat. Sanksi-sanksi tersebut berwujud “perampasan” (derivation) dari satu atau lebih, bahkan mungkin dari semua nilai-nilai yang ada terhadap mereka yang menentang keputusan-keputusan itu.
Karena nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu banyak, maka terdapat pula “pluralisme elite”. Yang penting sekarang ini ialah bahwa terdapat hirarki antara pelbagai elite itu. Elite yang paling unggul kedudukannya ialah kelompok yang mempunyai “kekuasaan politik”, sebab di lapangan politik keputusan-keputusan disertai dengan sanksi yang paling kuat. Keputusan-keputusan politik mengikat seluruh masyarakat, sebab kekuasaan politik melahirkan keputusan-keputusan yang wujudnya secara formal adalah paling otoritatif di antara nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Di samping itu, kekuasaan politik sebagai nilai yang mempunyai daya “perekat” (aglutinating effect), yang mengakibatkan bahwa nilai-nilai yang lain mengikutinya. (Soelaeman Soemardi, 1984 hal. 34-35).
Talcott Parson dalam menganalisa tentang kekuasaan di dalam masyarakat menggunakan pendekatan “struktur fungsional”, di mana akhirnya ia menemukan adanya bermacam “golongan kepentingan” (interest group) seperti antara lain keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Golongan kepentingan ini merupakan subsistem-subsistem di dalam sistem kemasyarakatan; dan kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki oleh subsistem itu sebagai suatu fasilitas sosial atau sumber sosial. Kekuasaan mempunya fungsi sosial, yaitu fungsi untuk seluruh masyarakat sebagai suatu sistem. Fungsi kekuasaan dalam subsistem politik adalah seperti fungsi uang dalam ekonomi, atau fungsi kesatuan-kesatuan cadangan dalam suatu pranata kemiliteran. Tetapi jika dibandingkan dengan subsistem-subsistem lainnya, subsistem politik adalah paling umum dalam pola-pola normatifnya. Keputusan-keputusan yang diambil dalam rangka politik, mempunya akibat-akibat yang langsung dan memang sengaja mempengaruhi seluruh masyarakat. Politik mempunyai pengawasan tertinggi atas fasilitas-fasilitas sosial dan akhirnya sasaran solidaritasnya adalah paling mencakup dan meluas. (Soelaeman Soemardi, hal. 38-39).
Dengan demikian kekuasaan politik, baik dilihat dari pendekatan konstruksi-konstruksi developmental maupun struktural-fungsional adalah paling dominan di dalam kehidupan masyarakat, dibandingkan dengan kekuasaan-kekuasaan lainnya. Karenanya kekuasaan politik mempunyai posisi strategis dalam menentukan berbagai aspek kehidupan masyarakat secara nasional.
Dalam pengertian dan ucapan seperti tersebut di atas, mengapa Rasulullah S.A.W., mengubah strategi perjuangan dari “strategi da’wah” yang ia terapkan selama tiga belas tahun, bukan saja sistem kehidupan Islam secara utuh tidak bisa dijalankan, para pengikut Islam dari 250 orang itu pun terdiri atas masyarakat kelas bawah, tetapi juga menjadi sasaran penyerangan dari kaum Quraisy Mekah.
Berbeda sekali dengan penerapan “strategi politik” selama sepuluh tahun di Madinah. Hijrah ke Madinah terjadi pada tahun 622. menurut Ahmad Ibrahim Syarif, pekerjaan pertama dan utama yang bersangkutan dengan kehidupan bermasyarakat, Nabi S.A.W.. Telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
·        Membentuk persaudaraan Islam antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar sebagai umat yang mesra dan akrab, dengan Nabi S.A.W.. Sebagai pemimpin.
·        Membentuk kontrak sosial dengan piagam yang bernama “Shahiefah” dengan seluruh penduduk Madinah Muslim dan non Muslim. Shahiefah ini kemudian dikenal dengan nama “Piagam Madinah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar