Rabu, 01 Juni 2011

-         memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu dan mereka bersumpah: “kami tidak bermaksud membangun masjid ini, kecuali semata-mata untuk kebaikan”. Tetapi Allah mengetahui bahwa mereka adalah pembohong. Janganlah kamu bersembahyang didalamnya untuk selama-lamanya. Sesungguhnya masjid dibangun berdasarkan taqwa semenjak permulaan berdirinya, lebih baik kamu bersembahyang didalamnya. Didalam masjid itu ada beberapa orang laki-laki yang gemar membersihkan dirinya dan Allah suka kepada orang yang bersih”.
Sayid Qutb dalam tafsirnya mengomentari ayat ini, sebagai berikut: “ayat ini menerangkan sebagian daripada perbuatan orang-orang munafiq di masa Rasulullah s.a.w.. Mereka mendirikan masjid untuk menyaingi masjid Quba, dengan tujuan untuk merusak kaum muslimin, untuk menanamkan rasa permusuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kendatipun mereka bersumpah, namun sumpah mereka itu adalah sumpah palsu, sekalipun dengan pembangunan masjid itu adalah untuk kebaikan agar orang-orang Islam dapat bersembahyang disitu. Namun Allah menyaksikan bahwa mereka itu adalah pembohong.
Allah S.W.T memerintahkan Rasulullah s.a.w. untuk tidak bersembahyang didalamnya dan juga melarang orang Islam bersembahyang didalam masjid tersebut, serta memerintahkan Rasulullah dan para sahabatnya untuk meruntuhkannya. Sedangkan masjid Quba yang dibangun berdasarkan taqwa dan untuk mencari keridhoan-Nya adalah lebih utama untuk dijadikan tempat sembahyang oleh kaum muslimin dan berhimpun didalamnya dinilai satu kebajikan. Dan masjid selama dipergunakan untuk markas kegiatan-kegiatan yang bertujuan merusak Islam dan kaum muslimin, walau tampak pada lahirnya sebagai lambing kemegahan atau syariat Islam, selama itu masjid yang demikian harus ditinggalkan; kalau dapat harus dihancurkan. Demikianlah yang dilakukan orang-orang munafiq sepanjang zaman, mereka memandang pengumuman yang isinya seolah-olah membela dan mengangkat derajat Islam, tetapi dibalik itu mereka berusaha merusakkan Islam.
Kegiatan-kegiatan itu mungkin juga dalam bentuk organisasi, buku-buku atau pertemuan-pertemuan ilmiah untuk pembahasan masalah Islam dan kaum muslimin, tetapi missinya serupa dengan masjid Dhirar. Oleh karena itu kaum muslimin harus waspada dan berusaha untuk menurunkan pengumuman palsu semacam itu dan menyingkapkan hakikat yang terkandung dibalik itu. Cukuplah bagi kaum muslimin sebuah contoh masjid Dhirar di zaman Rasulullah s.a.w.. (Abdul Karim Zaidan; 1984: 146-162).
Demikianlah beberapa tanda-tanda dan sifat-sifat yang menonjol dari orang-orang munafiq, sepanjang sejarah menurut kriteria Al Quran telah menerangkan sekitar 67 ayat yang tersebar didalam 9 surat. Untuk lebih jelasnya, baiklah kita salinkan nomor dan nama suratnya, yaitu:
-         Surat: 2 (Al Baqarah)   : 8-20; 204-205.
-         Surat: 3 (An Nisa)        : 60-61; 138-139; 142-143; 145.
-         Surat: 8 (Al Anfal)       : 49.
-         Surat: 9 (At Taubah)    : 44-45; 64-69; 79-80; 86-87; 107-108.
-         Surat: 33 (Al Ahzab)    : 1; 12-20; 48; 60-61; 73.
-         Surat: (Al Fath)            : 6.
-         Surat: 57 (Al Hadid)     : 13-14.
-         Surat: 59 (Al Hasyr)     : 11-14.
-         Surat: 63 (Al Munafiqun)     : 1-8.
Di dunia  Islam, golongan munafiq ini umumnya penganut paham-paham sekuler seperti Sosialisme, Komunisme, Kapitalisme dan Nasionalisme, dan mereka menjadi kelas elite yang berkuasa. Dengan orientasi ideologi sekuler seperti tersebut diatas, mereka telah menempatkan Islam sebagai musuh mereka. Sikap golongan munafiq dengan baju Sosialisme dan Nasionalisme tidak kalah kejamnya dibandingkan dengan golongan Yahudi, Kristen, Sekuler dan Musyrik dalam menghadapi Islam dan kaum muslimin.
1.     Kelompok Atheis / Firaunisme
Firman Allah S.W.T didalam Surat: 45 (Al Jashiyah): 23-24, berbunyi: “Maka pernakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga”.
Abdullah Yusuf Ali mengomentari ayat ini sebagai berikut: “Apakah seseorang mengikuti selain undang-undang Allah yang berarti juga undang-undang yang sesuai dengan fitrah manusia yang telah diciptakan oleh Allah, tetapi ia mengikuti “hawa nafsunya” sendiri, sebagai bentuk pemberontakan dan keinginannya sendiri, akibatnya pasti dicabutnya kembali karunia dan petunjuk Allah S.W.T. Kemudian semua kecakapan / pembawaan yang baik, dijatuhkan ketempat yang hina, tidak ada seseorangpun yang dapat menunjukannya, kecuali ia kembali bertaubat kepada Allah S.W.T”. (Abdullah Yusuf Ali; 1934: 1360).
Selanjutnya, Muhammad Ali Shabuni menerangkan pengertian ayat ini yaitu: “Tolong beritahukan kepadaku wahai Muhammad tentang berita keadaan orang yang meninggalkan ibadah kepada Allah dan mengabdi kepada “hawa nafsunya”; dalam kitab Al Bahru, pengertian dia mengikuti hawa nafsunya, yaitu mengikuti apa yang diserunya, seakan-akan dia menyembahnya, sebagaimana seseorang menyembah Tuhannya. Ibnu Abbas berkata: “Itulah orang kafir, dia menjadikan agamanya sesuai dengan hawa nafsunya”. Allah telah menyesatkan dengan berbagai kesesatan didalam kondisi dia mengetahui tentang kebenaran, karena ia bukan orang awam. Maka dia lebih jelek dan lebih jahat daripada yang sesat karena kebodohannya. Sesungguhnya dia tidak dapat menerima hujjah yang dapat meneranginya. Siapakah yang bisa memberi petujuk kepada orang yang telah sesat? Tak ada sesuatupun yang mampu berbuat demikian! Apakah manusia tidak mengambil pelajaran? Menurut Tafsir Shawi: “Allah telah mensifati orang-orang kafir dengan empat macam sifat, yaitu:
-         Mengabdi kepada hawa nafsu;
-         Kesesatan dalam berilmu / kekeliruan dalam menggunakan ilmu;
-         Pendengaran dan hati mereka telah dipatri;
-         Dan penglihatan mereka sudah tertutup.
(Muhammad Ali Shabuni; 1981: 186).
Menurut ayat dan pendapat para ahli tafsir, maka pengertian “mempertuhankan hawa nafsu” yaitu menjadikan segala potensi ruhani manusia seperti hawa nafsu, intuisi, akal dan kemauan sebagai sumber kebenaran, dan bersifat mutlak. Dengan kata lain manusia telah menjadikan dirinya sebagai Tuhan; dan dengan begitu dia tidak memerlukan Tuhan selain daripada dirinya. Manusia seperti ini dalam Al Quran telah memberikan contoh konkrit bagi sejarah umat manusia, yaitu “manusia Fir’aun”; seperti antara lain firman Allah S.W.T dalam surat: 28 (Al Qashash): 38, yang berbunyi: “Firaun berkata: Hai pembesar-pembesar kaum ku, aku tidak mengenal sesuatu Tuhan bagimu kecuali diriku sendiri”.
Selanjutnya secara filosofis dan ideologis Atheisme dan Firaunisme tumbuh dari Sekularisme dan Sekularisme yang lahir dari kandungan Yudaisme dan Kristianisme pada abad XVII di Eropa, yang dikenal dengan istilah “the age of reason” (abad pemikiran) atau “Englightment” (abad pencerahan). Secara theologis / ideologis, sekularisme adalah mempertuhankan diri manusia, sebagaimana dikemukakan oleh anthropolog – atheis; Ludwig Feuerbach (Jerman) yang menyatakan “homo homini deus” (Tuhan yang sesungguhnya adalah diri manusia sendiri). (Ignace Lepp; 1985: 70)
Dengan mengangkat diri manusia sebagai Tuhan, maka manusia sekuler telah menjadikan dirinya sebagai sumber kebenaran, pemberi kriteria tentang hak dan bathil, halal dan haram, ma’ruf dan munkar. Secara filosofis pandangan semacam ini disebut “anthroposentris” (anthropos = manusia; sentris = pusat), demikian ungkap Ali Syariati. (Ali Syariati, Kritik Islam Atas Marxisme (terjemahan), Mizan Bandung, 1983, hal 56).
Karenanya para tokoh sekuler dunia seperti Descartes (1596 – 1650) menyatakan; “akal manusia adalah kunci yang dapat membuka segala rahasia”; Herman Cohen (1842 – 1918) menyatakan; “hanya pikiran yang dapat menghasilkan yang sah berlaku sebagai wujud. Demikianlah pikiran itu dapat disebut pencipta dan juga pembina dunia”; Henri Bergson (1859 – 1941) menyatakan: “bila kita telah mengetahui diri kita yang sebenarnya, maka kita menemui pula inti, hakikat dari segala 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar