Selasa, 17 Mei 2011

-         akan mempercepat proses kepunahan organisme (flora, fauna dan manusia) di planet bumi ini.
-         Polusi nuklir, yang sangat membahayakan lingkungan hidup, tetapi penggunaan nuklir, baik untuk perang maupun untuk damai, masih terus diusahakan oleh manusia-manusia sekuler.  
1.        Konsepsi utopia tentang kehidupan dan penghidupan manusia
Kaum sekuler dengan ideology komunisme, nasionalisme dan kapitalisme, yang telah menguasai dunia lebih dari dua abad dan hampir semua penduduk bumi baik yang beragama Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Shinto, Kong Hu Chu, Animisme maupun Atheis telah menjadi penganut sekularisme yang fanatic, ternyata mereka adalah manusia-manusia bodoh, dungu, sombong, dan telah menghancurkan kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya. Paling tidak ada lima masalah pokok yang tidak diketahui dan tidak mampu diketahui “hakikatnya” oleh manusia sekuler, seperti telah diungkapkan dimuka.
Oleh karena itu konsepsi tentang kehidupan dan penghidupan manusia, yang dibuat oleh manusia sekuler dengan dalih “ilmiah”, filosofis dan mistis, semuanya adalah khayali tidak bisa diterapkan didalam kehidupan yang nyata dan damai
a.     Demokrasi / kedaulatan rakyat
Persoalan kekuasaan didalam Negara ini sejak dahulu kala telah banyak sekali menarik perhatian para ahli pikir, pertanyaan pokok di dalam masalah ini yaitu siapakah sebenarnya yang mempunyai kekuasaan dalam Negara itu? Atau dengan kata lain, siapakah di dalam Negara itu yang berdaulat, yang mempunyai souvereinitas?
Pada zaman sebelum Revolusi Perancis, pada masa berkuasanya feodalisme di Eropa, tiap-tiap pangeran dalam daerah kekuasaan para pangeran ini lebur. Yang mempunyai kedaulatannya hanya Raja.
Kemudian setelah kekuasan Raja Lodewiji XVI runtuh, karena revolusi Perancis, rakyat Perancis mengambil kedaulatan itu dari Raja yang ditumbangkannya. Karena itu, Negara Perancis menempatkan dalam Undang-Undang Dasarnya pasal 3 dari Declaration de Droits de’l Hommeet du Citiyen, yang menyatakan bahwa yang berdaulat dalam Negara adalah rakyat.
Dengan demikian, teori Rousseau tentang “kontrak sosial” (perjanjian masyarakat) dengan kedaulatan rakyatnya menjadi kenyataan. Teori kedaulatan rakyat ini berangsur-angsur menjalar ke seluruh dunia, untuk dijadikan dasar kekuasaan dalam Negara. Dengan pengertian, dalam Negara rakyatlah yang memegang kekuasaan. Menurut Mohammad Yamin, dewasa ini lebih empat puluh Negara yang menganut paham kedaulatan rakyat.
Rousseau, dalam melahirkan teori kedaulatan rakyatnya itu, dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan yang absolut oleh raja. Ketika itu, kesengsaraan dan kemelaratan rakyat sedang berada dalam puncak yang tertinggi. Sebagai orang yang mempunyai hasrat untuk membela rakyat, tentulah kondisi semacam itu tidak dapat dibenarkan. Dia ingin agar rakyat juga dapat kecukupan dan hidup bahagia. Dalam jalan pikiran kenegaraan Rousseau, rakyat aran mendapat kecukupan dan kebahagiaan, jika yang berkuasa dan berdaulat dalam negara adalah rakyat sendiri. Dengan dipunyainya sumber kekuasaan itu oleh rakyat, tentulah rakyat dapat mengatur negara tersebut menurut kehendak dan keinginannya. Demikianlah lahirnya teori kedaulatan rakyat.
Jalan pikiran Rousseau seperti yang kita ungkapkan di atas dapat dimengerti, karena setiap orang pada umumnva selalu dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia hidup. Coba kita perhatikan teori Mazchiavelli yang mengajarkan tentang "seo­rang penguasa dalam suatu megara itu harus menggabungkan sifat harimau dan kancil dalam dirinya." Teori ini lahir karena di Italia pada waktu itu sedang terjadi kekacauan dan perang yang terus-menerus. Machiaveli mempunyai keinginan supava keadaan yang semacam itu dapat dikuasai oleh raja yang kuat dan licik.
Tetapi, teori kedaulatan rakyat yang diajukan oleh Rousseau tidak memperdulikan bentuk pemerintah negara. Karena itu, pada waktu Napoleon menjadi konsul pertama dan memerintah seorang diri, dia berbuat demikian atas nama kedaulatan rakyat.
Kemudian ketika Napoleon memerintah sebagai kaisar, itu pun untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Berdasarkan realitas ini, Karl Mannheim mengatakan bahwa hakikat kedaulatan itu adalah untuk menentukan ke arah mana kekuasa­an itu akan digerakkan. Dalam hal ini, tidaklah dipersoalkan apakah yang berdaulat itu seorang raja, rakyat, atau wakil-­wakilnya.
Dengan adanya perubahan bentuk dan susunan masyarakat pada masa sekarang ini, kedaulatan rakyat yang dalam kehi­dupan negara dijalankan dengan demokrasi, juga dapat memberikan jalan kepada terbentuknya diktator dalam negara. Keadaan ini terjadi karena yang berdaulat di dalam negara itu adalah rakyat. Karena itu, seluruh rakyatpun ikut serta dalam masalah-masalah negara. Kebanyakan persoalan-persoal­an negara itu dipecahkan bukan oleh pikiran yang jernih, tetapi oleh gejolak emosi yang menggelora di kalangan rakyat- Karena itu, kedaulatan rakyat dalam masyarakat modern sekarang ini dinamakan oleh Max Scheler dengan "demokrasi emosi-(Stimmungs demokrasi). Dengan kedaulatan rakyat yang menjadikan emosi rakyat sebagai penentu jalannya kebijakan negara, Hitler dapat menjadikan dirinya sebagai diktator di Jerman. Hitler mengatakan bahwa kenaikan dirinya dan golongannya (Nazi) dalam perjuangan politik adalah berdasarkan demokrasi.
Karl Mannheim menyimpulkan bahwa bukan saja kedaulatan rakyat dalam masyarakat kita sekarang ini yang telah menghasilkan kekacauan-kekacauan dalam kehidupan politik, tetapi dia juga telah mengacaukan pula kehidupan moral manusia dan kebudayaan.
Dengan uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa mele­takkan kekuasaan dalam negara kepada tangan rakyat dengan nama kedaulatan rakyat, tidaklah membawa keuntungan yang berarti kepada umat manusia. Bahkan sistem itu banyak sekali membawa bencana.
Dengan kegagalan teori kedaulatan rakyat di dalam realita penyelenggaraan negara, lahir pula teori "kedaulatan negara" yang meletakkan kekuasaan negara di negara itu sendiri. Teori ini antara lain dikemukakan oleh Jhering, Laband dan Jellinek.
Dari teori ini, timbul pertanyaan, "Dari mana negara itu memperoleh kekuasaan?" Jellinek menjawab bahwa negara itu berdiri dengan mempunyai kekuasaan yang asli untuk memerintah. Kekuasaan itu merupakan kekuasaan asli dengan negara. Karena itu, negaralah yang berdaulat.
Teori ini sulit dicerna pikiran, karena kita sulit meng­gambarkan bagaimana negara itu dengan sendirinya mempu­nyai kekuasaan. Sebab, negara tidak lain adalah stau organisasi kemasyarakatan, dan orang-orang yang berkumpul itu menjadi anggotanya. Karena itu, yang menyatakan kehendak dan kemauannya sebagai kehendak dan kemauan negara adalah manusia-manusia yang memegang kekuasaan dalam negara itu. Jadi, tidak ada satu pun kehendak dan kemauan yang bukan manusia. Karena kehendak dan kemauan itu dikeluarkan oleh manusia yang berkuasa, kehendak itu dinamakanlah kehendak dan kemauan negara.
Berdasarkan realitas semacam ini, Austin mengatakan bahwa kekuasaan asli itu bukanlah dilaksanakan oleh negara yang abstrak itu, tetapi oleh seorang manusia yang konkret atau oleh segolongan manusia yang konkret. Jadi, jelaslah bahwa yang mempunyai kekuasaan dalam negara itu adalah orang atau golongan orang yang berkuasa. Dengan demikianlah, jelas­lah bahwa sebenarnya tidaklah pernah terjadi apa yang dikatakan teori "kedaulatan negara itu." Hal ini dipergunakan orang hanya untuk menanamkan dalam jiwa manusia yang diperintah/dikuasai itu bahwa perintah-perintah yang ada dalam negara itu berasal dari suatu badan yang lebih penting daripada manusia itu sendiri, agar manusia yang diperintah itu tunduk dan patuh kepada kemauan orang yang berkuasa.
Dengan adanya kelemahan teori baik tentang "kedaulatan rakyat" maupun "kedaulatan negara", lahirlah pula teori "kedaulatan hukum." Cruet, Kostern, Duguit, dan Krabbe­ sambil menentang teori "kedaulatan negara" mencoba melahirkan teori "kedaulatan hukum." Teori ini menyatakan bahwa dalam suatu negara, bukanlah negara yang mempunyai kedaulatan, tetapi hukumlah yang berdaulat. Hukum harus dipatuhi oleh seluruh rakyat dan juga negara. Negara harus berjalan dan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku dan harus berjalan di dalam batas-batas hukum. Jadi, hukum lebih tinggi daripada negara.
Dari teori ini, akan timbul pula pertanyaan: apabila hukum itu dikatakan lebih tinggi kedudukannya daripada negara, siapakah yang menciptakan hukum? Orang bisa menjawab: bahwa hukum itu diciptakan oleh moral atau adat kebiasaan. Jawaban ini hanya sebagian saja yang benar, yaitu mengenai hukum yang tidak tertulis. Tetapi, bagaimana dengan undang­undang dasar, undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara secara tertulis, dan ini merupakan hukum yang paling dominan di dalam kehidupan bernegara. Karena itu, siapakah yang menciptakan hukum semacam ini? Orang bisa menjawab bahwa lahirnya hukum itu berasal daripada lembaga hukum, perasaan hukum dan kesadaran hukum. Apa­bilasebagian besar rakyat sudah mempunyai kesadaran hukum yang sama, dari sanalah hukum itu berasal. Demikian jawaban Krabbe tentang teori "kedaulatan hukum."
Apabila kita terima alasan ini, hukum itu lahir dan dicipta­kan oleh golongan terbesar rakyat. Karena itu, hukum yang berdaulat dalam negara, menurut teori ini, diciptakan oleh rakyat. Sebenarnya, yang berdaulat itu bukanlah hukum itu, tetapi rakyat yang menciptakan hukum, karena hukum yang mereka buat itu adalah kehendak rakyat. Dengan begitu, berarti teori ini telah kembali kepada teori "kedaulatan rakyat." Telah kita bahas bahwa teori "kedaulatan rakyat" mempunyai kelemahan-kelemahan  (Abdoeraoef; 1970: 199-204)
Kelemahan teori "kedaulatan rakyat" bukan saja terletak pada teori itu sendiri, tetapi juga terletak dalam demokrasi yang digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan "kedaulat­an rakyat'.
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi rakyat, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Soviet, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar