Selasa, 17 Mei 2011

*        tanah kaum muslimin dan me­nyerahkannya kepada orang-orang Kristen. Dengan bermacam Cara, tipu muslihat dan teror, tanah-tanah subur milik kaum muslimin di­rampas oleh umat Kristen atas sepengetahuan dan izin penguasa Kristen. Umat Kristen atas persetujuan penguasa Kristen membentuk pasukan teror (liar) yang diberi nama "Ilaga". Pasukan teroris Ilaga secara terus menerus melakukan teror, membunuh umat Islam, merusak masjid-masjid, rumah-rumah dan harta benda kaum muslimin. Teror yang biadab, yang dilakukan oleh umat Kristen, yang sepenuhnya dibantu penguasa Kristen, maka pada tahun 1970, umat Islam bangkit kembali mengangkat badan perjuangan "Moro National Liberation Front" (MNLF) di bawah pimpinan Nur Misuari, Hashim Slamat dan Abdul Chair Alondo. (Lukman Harun; 1985: 215-217)
*        Penguasa Kristen Ethiopia telah merampas daerah Eriteria yang berpenduduk 90% beragama Islam. Penguasa Kristen Katholik Ethiopia telah merampas sebagian besar tanah-tanah milik kaum muslim Eriteria dan menyerahkannya kepada pastor-pastor dan tuan-tuan tanah itu bebas melakukan penyiksaan, pembunuhan atau menggan­tung para petani Islam, kapan saja mereka kehendaki.
Bagi petani petani Islam telah dibuka sebuah penjara kolektif yang mengerikan. Petani-petani muslim yang dimasukkan penjara tersebut dicambuk dengan cambuk yang beratnya hampir 10 kg. Setelah dilakukan penyiksaan keji, mereka dijebloskan ke dalam sel penjara dengan kedua tangan dan kakinya diikat menjadi satu; dan dibiarkan dalam keadaan demikian selama 10 tahun atau lebih, sehingga apabila mereka beruntung bisa keluar dari penjara tersebut, mereka sudah tidak dapat lagi berdiri tegak, karena tulang punggung dan tulang belakangnya sudah berbentuk busur.
Kekejaman-kekejaman yang di luar batas kemanusiaan ini, akhiinya menimbulkan perlawanan umat Islam yang dipimpin oleh seorang ulama bemama Syeikh Abdul Qadir; dan mereka menyerang penguasa Kristen di bawah Kaisar Haile Selase. Karena penguasa Kristen ini tidak dapat menangkap pejuang muslim ini, maka keluarga para pejuang Islam yang terdiri atas wanita-wanita, anak-anak, nenek-nenek dan kakek-kakek ditangkap, kemudian dimasukkan suatu rumah kayu yang beratapkan daun-daunan; setelah itu mereka disiram bensin dan dibakar hidup-hidup sampai hangus.
Para pejuang muslim yang tertangkap hidup-hidup akan mengalami penyiksaan yang mengerikan sebelum mereka dibunuh. Antara lain: mematikan puntung rokok di mata atau dikuping mereka; memperkosa anak-anak perempuan, isteri-isteri atau saudara-saudara perempuan mereka dihadapan mereka sendiri; memotong jari jari tangan mereka dengan gagang pistol; menyeret dengan kawat berduri, sehingga anggota-anggota badan mereka terpotong-potong; dan melepaskan mereka dalam keadaan luka parah di kandang-kandang binatang buas sebagai makanan binatang dengan keadaan tangan dan kaki terikat.
Kaisar Haile Selase mengeluarkan perintah untuk menutup semua sekolah-sekolah Islam dan mewajibkan anak-anak muslim memasuki sekolah-sekolah Kristen. Penguasa membangun gereja-gereja pada setiap pintu masuk desa atau kota. Dan bahkan para pejabat mem­bangun rumah-rumah pelacuran di sekitar masjid-masjid, di samping terdapat warung-warung minuman keras. Dan dalam keadaan mabuk para tentara Kristen masuk ke masjid untuk buang air besar atau kecil; dan para pelacur menari-nari di dalamnya. (Jalal Al Alim; 1985: 11-13).
I.                    Perang Dalam Sekularisme
1.        Sekularisme
Sekularisme yang telah mengangkat diri manusia sebagai Tuhan, (Homo Homini Deus) seperti diungkapkan oleh Ludwig Feurbach (1804-1872) (Ignace Lepp; 1986: 64),  maka secara hakiki mereka telah menempatkan manusia sebagai penentu ukuran tentang nilai-nilai didalam kehidupan manusia. Secara filosofis, pandangan semacam ini disebut bersifat anthroposentris (anthropos = manusia, sentries = pusat). Pengertiannya menjadikan manusia pusat batu-ujian tentang kebenaran dan kesalahan, pemberi kriteria tentang baik dan buruk, indah dan jelek. (Ali Syariah; 1983:56.)
Dan peletak dasar pandangan “anthroposentris”. dalam filsafat modern (sekuler) dan kebudayaan Barat adalah Rene Descarter (1590-1650). Pandangan semacam ini mewarnai pemikiran sehari-hari di Barat, khususnya di benua Eropa. (Marcel A. Boisud; 1980:44.)
a.     Manusia belum tahu hakikat dirinya
Pernyataan-pernyataan manusia sekuler tentang sumber kebenaran, baik yang bersumber pada akal yang bersemayam pada otak dengan logika berfikirnya, yang bersumber pada panca indera dengan penyerapan inderawinya, maupun pada hati dengan logika intuisinya, dapat dibaca dalam uraian dibawah ini.
-         R.F. Beerling: dapat diajukan pertanyaan: apakah manusia itu tergantung pada alam semesta atau alam semesta yang bergantung pada manusia? Misalnya orang Yunani kuno dengan tidak ragu-ragu akan berkata: orang tak akan mengerti tentang manusia, sekiranya ia tidak melihat lebih dahulu perhubungan besar dari dunia. Memang manusia memegang kedudukan yang penting dalam dunia dan menegaskan untuk manusia batas-batas tertentu. Alam semestalah yang ada lebih dahulu, sesudah itu baru manusia. Tetapi pada zaman modern, zaman sesudah abad pertengahan, lebih cenderung pada manusia; pada jawaban yang kedua dan menyatakan alam semesta” bergantung pada manusia. Akal tidak merasa puas dengan pengetahuan objektif semata-mata untuk pengetahuan itu, tetapi ia berhasrat menguasai dunia alam dan sejarah. Oleh keinginan semacam itu, maka permulaan bumi berubah seperti belum pernah terjadi sebelumnnya lebih-lebih karena pelaksanaan ilmu-ilmu kealaman dan teknik serta praktik. (R.F. Beerling; 1966: 49-50.)
-         Rene Descarter (1596-1650): bahwa akal manusia memang cukup kuat untuk memecahan segala soal, cukup kuat untuk mencapai kebenaran yang terakhir. Akal manusia adalah kunci yang akan dapat membuka segala rahasia. (Endang Saifuddin Anthony; 1980:137.)
-         Herman Cohen (1842-1918) Neo-Kantianisme menyatakan: wujud adalah yang dipikirkan, bukan dipikirkan oleh bermacam-macam subjek menurut berbagai cara, melainkan dipikirkan oleh subjektifitas umum. Dan ini berarti dipikirkan oleh pikiran. Objek-objek tidaklah ditentukan; mereka disediakan bagi alam pikiran, mereka menjadi tugas, menjadi soal. Alam pikiran yang dapat harus menghasilkan objek-objek itu. Hanya pikiran yang dapat menghasilkan yang sah berlaku sebagai wujud. Demikianlah pikiran itu dapat disebut pencipta dan juga pembinaan dunia. (R.F. Beerling; 1966: 80.)
Aliran Naturalis-Humanisme berpendapat bahwa hukum-hukum alam itu adalah bentukan manusia, sehingga mereka menyangkal segala bentuk yang supernatural, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar