Selasa, 17 Mei 2011

tidak mengingat hak dan keadilan. Inilah bahaya, apabila kita menghambakan dan membudak kepada Ibu-Dewi yang menjadi tanah air kita utuh karena sendiri sahaja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya; karena airnya yang kita minum, dan nasinya yang kita makan. Atas dasar perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka tidak lah akan dapat ditambahkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan.”
Kemudiaan Soekarno menjawab tulisan Agus Salim tersebut didalam majalah “Suluh Indonesia Muda”, yang antara lain berbunyi: “…..Amboi, jikalau memang harus disebutkan begitu, jikalau itu disebutkan membudak kepada benda, jikalau itu yang disebutkan mendasarkan diri atas keduniaan, kita kaum nasional Indonesia, dengan segala kebesaran hati “bernama pembudak benda”, dengan bersenang diri “bernama mendasarkan diri atas keduniaan itu”. (Soekarno; 1963: 110-114).
Selanjutnya, gegap gempitanya gerakan Nasionalisme (kebangsaan) yang dilakukan oleh tokoh-tokoh PPPKI dibawah pimpinan Soekarno, disamping menyerang dan menghinakan Islam, maka A. Hassan, ulama besar Persatuan Islam (Persis) Bandung, manulis dalam majalah “Pembela Islam”, yang antara lain berbunyi: “dengan mengutip dua buah Hadist Riwayat Abu Dawud dan Muslim, A Hasan menyatakan bahwa mendirikan vereniging (perkumpulan / organisasi) kebangsaan, mengajak orang kepada kebangsaan, menolong partai kebangsaan itu, dilarang oleh agama Islam. Ia menambahkan bahwa pendapatnya ini didasarkan kenyataan bahwa orang Islam Indonesia, karena kebangsaan menjadi terpisah dari orang Islam di bagian lain dunia, sedangkan menurut Al Qur’an, semua Muslim bersaudara. Katanya “berpartai kebangsaan” berarti dipandang keluar dari Islam. Partai kebangsaan sudah tentu tidak akan menjalankan hukum Islam, karena partai itu perlu netral agama, yaitu tidak boleh mengambil satu agama yang tertentu buat dijadikan atas perkumpulannya atau asas pemerintahannya kelak. Berdasarkan QS: 5:4,  A Hassan berpendirian bahwa orang yang mengambil asas dan hukum selain dari Islam itu, dipandang bukan Islam; dan ia menambahkan: “Islam mengajarkan kita bersatu secara Islam dengan asas Islam. Islam mewajibkan kita merdeka, bukan lantaran senang atau susah, tetapi untuk menjalankan perintah-perintah Islam dengan sempurna disekalian perkara, di dunia dan akhirat. Islam tidak mengakui umatnya akan seseorang yang berasas kebangsaan, menolong partai kebangsaan, mengajak orang kepada partai kebangsaan, marah karena kebangsaan; tetapi Islam perintah umatnya (bukan umat lain) supaya mengajar kemerdekaan dan mengajarkan apa-apa yang berlambang dengan itu, semata-mata karena Islam dan atas nama Islam.”
Dalam menanggapi teriakan-teriakan kaum Nasionalis (kebangsaan) dan penghinaannya terhadap Islam, Muhammad Natsir dari Jong Islamieten Bond (Liga Pemuda Islam) mengemukakan pandangannya didalam majalah “pembela Islam”, yang antara lain sebagai berikut: “tujuan kaum Muslim mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan susunan Islam untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya dan segala mahluk Allah pada umumnya. Adakah ini juga tujuan dan cita-cita mereka itu? Mereka yang dari sekarang sudah menyatakan sikap netral kepada agama, yang dari sekarang sudah meremehkan tak mau campur tangan dalam segala urusan yang berbau Islam”.
Seterusnya, dalam menanggapi anjuran dari pihak Nasionalis untuk mengesampingkan agama, Muhammad Natsir berkata: “kalau betul begitu, baik dari sekarang, kita berpahit-pahit. Sebab tak sama arah tujuan kita! Tuan mencari kemerdekaan Indonesia untuk bangsa Indonesia, karena ibu Indonesia. Kami mencari kemerdekaan, karena Allah untuk keselamatan seluruh penduduk kepulauan Indonesia ini. tuan mencari kemerdekaan untuk pemerintahan asing, karena keasingan pemerintahannya. Kami mencari kemerdekaan, dari pemerintahan bangsa asing, untuk kehidupan pemerintahan bangsa sendiri; karena berlainan cita-cita, berlainan susunan hidup; karena berlainan pemerintahannya! Kalau begitu kehendak yang mempunyai advis, bersimpang jalan kita sini.” (Deliar Noer; 1980: 274-284).
a.       Kapitalisme
Prinsip pertama yang membangun sistem Kapitalisme adalah individualisme. Individualisme adalah suatu aliran filsafat yang menempatkan individu (seseorang) sebagai pusat dan titik tolak dari segala macam perikehidupan dan penghidupan baik ekonomi, politik, sosial maupun agama. Para tokoh aliran individualisme seperti Thomas Jefferson (Presiden Amerika Serikat: 1801-1809), Dogobert Renes dan Virgilius Ferms berpendapat bahwa setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam mendapatkan kebahagiaan; institusi keluarga, masyarakat dan negara tidak boleh merampas kehidupan individu. (Achmad Rustandi et.al; 1970: 73-74).
Konsepsi filsafat individualisme yang menempatkan individu sebagai titik sentral dari perikehidupan dan penghidupan manusia dan menyingkirkan peran masyarakat mempunyai banyak kelemahan. Sebab, baik secara fisik maupun psikis manusia sangat tergantung kehidupannya dengan masyarakat sehingga oleh Austin, Hobbes dan Roussaue mengajukan konsepsi “saling ketergantungan” (Interdependance) antara individu-individu dengan masyarakat (ZA Ahmad; 1975: 31).
Selain itu, telah menjadi watak manusia untuk hidup saling bersaing, saling berebut, saling berkelahi sehingga manusia yang satu menjadi mangsa manusia lainnya (homo homini lupus); dan hal inilah yang memaksa manusia membuat “perjanjian masyarakat” (kontrak-sosial) untuk menghindari kehidupan-kehidupan semacam itu; demikian Hobbes menulis dalam bukunya “Leviathan” (Kranenburg; 1959: 13-16).
Untuk mengatur tata-tertib kehidupan masyarakat harus adanya hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban individu, serta hak dan kewajiban masyarakat dengan sanksi-sanksi yang mengikat (R Tresna; 1959: 11)
Oleh karena itu, konsepsi individualisme yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam mendapatkan kebahagiaan, dimana institusi keluarga, masyarakat dan negara tidak boleh mencampuri kehidupan individu adalah bertentangan dengan fitrah manusia dan sangat berbahaya bagu kehidupan masyarakat.
Kemudian, prinsip kedua yang membangun sistem Kapitalis adalah liberalisme. Menurut para tokohnya seperti Jean Jaeque Rousseau, John Lock dan Hunt menyatakan bahwa titik tolak yang paling penting bagi semua orang untuk mendapatkan hak kebebasan / kemerdekaan individual didalam semua aspek kehidupan. (Achmad Rustandi et.al; 1970: 75-76).
Konsepsi filsafat liberalisme semacam ini tidak pernah ada dan tidak akan pernah terwujud. Sebab manusia sejak embrio / janin sampai kematiannya tidak pernah bebas dan dapat memilih siapa ibu-bapaknya. Apakah kedua orang tuanya itu sehat jasmani dan rohaninya, idiot atau pandai, miskin atau kaya, terhormat atau biasa, penjahat atau mulia, pelacur atau bukan. Dan seterusnya. Karena pengaruh keturunan terhadap intelektual dan kognitif, menurut penyelidikan Bart dan Jensen mencapai 80%, dibandingkan dengan pengaruh lingkungan yang hanya 20%. (Hasan Langgalung; 1986: 162).
Demikian pula pengaruh keturunan terhadap emosi dan efektif, dimana dinyatakan bahwa dimensi-dimensi introvensi-introvensi (orang yang lebih memperhatikan dirinya daripada orang lain) dan psikotik (kegoncangan-kegoncangan jiwa) lebih banyak terpengaruh oleh faktor-faktor keturunan daripada faktor lingkungan. Hasil penelitian Shilds ini diperkuat oleh hasil penelitian Cottle dan Scheler. Selain itu, perbedaan esensial antara organisme yang bernama manusia dengan organisme yang bernama hewan (fauna) dan tumbuh-tumbuhan (flora) adalah pengakuan tenang nilai; manusia selain mengakui adanya nilai, juga meletakan peran nilai sangat tinggi didalam kehidupannya. Sebaliknya fauna dan flora tidak mengenal sama sekali tentang nilai. Dengan nilai-nilai itu manusia dapat ditentukan kualitasnya.
Nilai-nilai dalam kehidupan manusia mempunyai 4 kategori, yaitu:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar