· Nasionalisme di dunia Islam telah membuat Dar al Islam terpecah belah, lemah dan berada di bawah belas kasihan dari Negara-negara Kapitalis, zionis dan Komunis. (Ziauddan Sardar; 1980: 86-87).
Kemudian Nasionalisme yang berjangkit di dunia Islam benar-benar telah menjadi agama baru, yang melebihi dari segala yang ada, sebagaimana dapat disaksikan dari beberapa negeri-negeri Muslim, antara lain:
· Turki
Turki yang pernah menjadi pusat Pemerintahan Islam selama beratus-ratus tahun, yang terkenal dengan nama Pemerintahan Bani Suljuk dan Usmany Ottoman (1055-1919), yang pertama-tama menyembah Nasionalisme. Salah seorang tokoh Nasionalisme Turki bernama Zia Gokalp pernah berucap: “Kita akan memciptakan suatu peradaban tulen, suatu peradaban baru. Mengelompokan orang-orang Turki, yang lebih cakap dan lebih tampan dari orang-orang Aria, dengan ras Mongol, adalah tanpa landasan ilmiah. Ras Turki tidak pernah dimerosotkan oleh alcohol dan foya-foya, seperti ras lainnya. Darah Turki belum aus, sentiment-sentimentnya tidak banci, kemaunnya tidak lemah. Penaklukan masa depan dijanjikan bagi niat teguh bangsa Turki”. (Haidar Bagir; 1986: 38).
Nasionalisme Turki yang chauvinis terungkap dengan lebih jelas di dalam pidato Mustafa Kamal Attaruk pada tanggal 3 Maret 1924, dimuka parlemen, antara lain ia berucap: “Imperium Usmani tegak diatas dasar ke Islaman. Menurut watak dan tabiatnya, Islam itu adalah Arab dan pandangan-pandangannya juga bersifat Arab. Ia mengatur peri kehidupan manusia dari mulai lahir sampai mati, mencetaknya secara khusus dan membelenggu pikiran pemeluk-pemeluknya serta menekan jiwa danamis dan semangat berjuang, dan selama Islam masih jadi agama yang resmi, maka Negara akan tetap dalam bahaya”. (Abul Al Hasani An Nadwi; tanpa tahun: 57).
Nasionalisme Turki yang anti Islam, yang diterapkan oleh Mustafa Kamal Attaruk, membawa sejarah tragis bagi kehidupan umat Islam Turki, dan Turki sejak menerapkan Nasionalisme sebagai ideologinya tidak pernah tampil kembali sebagai bangsa yang besar, sebagaimana yang pernah diperolehnya disaat Islam menjadi ideologinya. Bahkan kemerosotan disegala bidang politik, ekonomi, budaya dan militer, yang sejajar dengan bangsa-bangsa yang baru saja memperoleh kemerdekaannya, yang dikenal dengan nama dunia ketiga.
· Mesir
Mesir sebagai sebuah Negara yang pernah besar dibawah Pemerintahan Islam Alalla Mameluk (919-1171) dan pernah berhasil mengusir tentara salib dari Timur-Tengah untuk selama-lamanya, setelah menjadikan Nasionalisme sebagai ideologinya, juga tidak pernah tampil lagi sebagai Negara besar.
Pandangan Nasionalisme Mesir tergambar dari pidato tokoh utamanya, Gamal Abdul Naser, yang antara lain berucap: “Tetapi secepatnya ternyata bahwa revolusi ini adalah suatu pikiran bebas dan buah filsafat yang berdiri sendiri, suatu langkah matang yang yang telah direncanakan secara cermat untuk merombak masyarakat Mesir dan dengan perantaraan dan melaluinya masyarakat Arab menjadi masyarakat Nasionalistis, materialistis dan sosialistis, sehingga ia menjadi suatu masyarakat baru yang memilih untuk dirinya sendiri hubungan-hubungan sosial baru, diatas mana diletakan nilai-nilai moral baru dan tercermin pada peradaban nasional baru, dan menganggap kemerdekaan, sosialisme dan kesatuan itu sebagai dasar-dasar hidup dan tujuan perjaungan, serta menggali akar-akar perjuangan Mesir itu dalam sejarah Fir’aun, Pembina peradaban Mesir dan kemanusiaan yang mula pertama, dan membatasi perjuangan hanya untuk umat Arab yang berdiri diatas kesatuan bahasa yang menciptakan kesatuan akal dan pikiran, kesatuan sejarah yang membuat kesatuan nasib dan masa depan”. (Abu Hasan al Hasani An Nadwi; tanpa tahun: 114).
· Irak dan Syria
Wabah Nasionalisme juga melanda Irak dan Syria , yang pada masa lampau menjadi pusat pemerintahan Islam Bani Umayyah dan Abbasiyah (661-1268) yang cemerlang. Nasionalisme Arab menurut Irak dan Syria adalah sebagai berikut:
Ø Umat Arab merupakan kesatuan peradaban dan semua peradaban yang terdapat diantara putera-puteranya termasuk peradaban agama adalah hal yang pendatang dan bersifat sementara, dan semuanya akan lenyap dengan bangkitnya ras ke-Araban;
Ø Umat Arab mempunyai risalah abadi yang muncul dengan corak yang selalu mengalami perubahan dan tambah sempurna dalam lintasan sejarah, dan bertujuan untuk memperbaharui nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong kemajuan umat, menumbuhkan peraduan dan kegotong-royongan diantara bangsa-bangsa;
Ø Partai Ba’ats Arab yang beraliran sosialis adalah Nasionalis yang meyakini bahwa Nasionalisme itu adalah “hakikat yang hidup abadi”, dan bahwa kesadaran nasional yang matang dan mengikat individu dengan bangsanya secara erat adalah kesadaran “suci” penuh dengan tenaga-tenaga kreatif dan bersedia untuk berkorban, menanamkan kesadaran untuk bertanggung Jawab serta bekerja untuk menjuruskan kemanusiaan seseorang kepada usaha yang bermanfaat;
Ø Ikatan Nasionalisme merupakan ikatan satu-satunya yang terdapat di negeri-negeri Arab yang menjamin persatuan di antara penduduk dan peleburan mereka dalam satu paduan yang dapat mengatasi semua kefanatikan aliran dan golongan, kesukuan, asal keturunan dan kedaerahan. (Abul Hasan Al Hasani An Nadwi; tanpa tahun: 121).
a. Nasionalisme Dalam Sejarah Indonesia
Penguasa kolonial Belanda (Kristen) yang telah menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya, telah meletakan tiga strategi besar (grand strategic) terhadap bangsa Indonesia , yaitu: kolonialisasi, Kristianisasi dan westernisasi. Para tokoh kolonial Barat, seperti Martin Hartman mengungkapkan tulisan Zwemer dalam bukunya “The Occupied Mission Field of Asia and Africa ”, yang berbunyi antara lain: “Penyebaran peradaban Barat (westernisasi) dan agama Kristen (Kristianisasi) haruslah bersama-sama ditanamkan kepada rakyat jajahan, dan oleh karena itu tidak ada kata-kata mana yang dahulu dan mana yang terakhir”. (O Hashem; 1968: 15).
Esensi peradaban Barat adalah sekularisme; sedang sekularisme adalah ibu kandung dari Komunisme, Nasionalisme, dan Kapitalisme. Untuk menanamkan Westernisasi (peradaban Barat) terhadap bangsa Indonesia (bangsa yang terjajah) methode yang terbaik manurut Christian Snouck Hugronye adalah melalui pendidikan dan pengajaran, sebagaimana dinyatakan dalam bukunya “Politique Musalman de Hollande”, yang antara lain berbunyi “Pemecahan masalah Islam tergantung daripada kokohnya hubungan antara bumi-putera (rakyat Indonesia ) dengan peradaban Barat. Satu-satunya pemecahan yang tepat dari masalah Islam ini terletak dalam asosiasi (pernyataan) rakyat Muslim di jajahan Belanda kepada bangsa Belanda. Bila ini berhasil, maka habislah masalah Islam. Pendidikan dan pengajaran Barat sanggup membebaskan kaum Muslimin dari agama Islam.” (O Hashem; 1968: 28-29).
Kelompok masyarakat Indonesia yang paling mudah menerima peradaban Barat yaitu:
· Kaum Kristen; karena faktor adanya persamaan agama.
· Kaum Priyai yang menjadi pegawai kolonial Belanda, yang umumnya penganut kejawen dan bangga dengan agama Hindu, Budha dan agama nenek-moyang mereka
· Kaum terpelajar, baik murid-murid sekolah maupun mahasiswa yang belajar di sekolah-sekolah kolonial Belanda.
Kaum non pribumi (Cina), yang oleh penguasa kolonial Belanda diberikan hak istimewa pada bidang ekonomi,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar