Selasa, 17 Mei 2011

dan yang sebagian lagi kamu ingkari? Maka tidak ada balasan orang yang berbuat demikian, kecuali kehancuran hidup di dunia dan akhirat (hari kiamat) mereka dilemparkan kepada azab yang pedih”. (Abdul Qadir Audah; 1965 : 1137-138).
Oleh karena itu Muslim yang menyatakan beriman kepada Al Qur’an, tetapi mengingkari pelaksanaannya; karena lebih suka melaksanakan hukum-hukum buatannya sendiri, dengan keyakinan bahwa hukum buatannya itu lebih baik ketimbang hukum Islam, maka Muslim semacam ini  dimasukan dalam kategori kaum munafiq; sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, surah : An Nisa: 60-61: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengakui dirinya telah beriman kepada yang diturunkan kepada mu dan kepada yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka : marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang telah diturunkan-Nya dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu lihat orang-orang munafiq itu  menghalang-halangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu’.
Pengertian ayat ini, menurut Abdul Karim Zaidan sebagai berikut : “Orang-orang munafiq lebih senang menggunakan hukum yang tidak bersumber kepada hukum yang dibawa oleh Rasul-Nya. Mereka selalu menggunakan hukum thaghut, yaitu hukum yang mereka ciptakan sendiri, yang mereka anggap lebih baik dan lebih cocok untuk kehidupan mereka. Bahkan mereka menganggap hukum Allah (syariat Islam) telah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan zaman yang terus maju. Untuk itu mereka berusaha dengan bermacam-macam cara guna menghalangi dan kalau bisa menyingkirkan syariat Islam di dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara”. (Abdul Karim Zaidan; 1984 : 60).
Karena demikian sifat dan watak kaum munafiq di dalam menghadapi  hukum Allah, maka wajarlah Allah menghukum mereka nanti di akhirat dengan menempatkannya di dalam neraka yang paling bawah; seperti danyatakan di dalam Al Qur’an; surah : An Nisa : 145 : “Sesungguhnya kaum munafiq itu (akan disiksa) di tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu tidak akan dapat menolong mereka”.
1.        Kontribusi Islam Terhadap Kebudayaan Dunia
Sekarang marilah kita tampilkan fakta-fakta yang pernah dicapai Islam, sebagai agama yang mempunyai pandangan theosentrik, dalam lapangan filsafat dan ilmu pengetahuan, seperti yang diungkapkan oleh sejarah. Hasil-hasil yang dicapai oleh Islam ini, karena memang Islam mempunyai sikap dasar yang berbeda dengan agama-agama lain. Bagi agama lain mempunyai sikap: guna menjaga agar agama jangan rusak, maka mereka melarang pemeluknya membaca buku-buku yang berisi keyakinan lain dan dengan lantas memasukkan buku-buku yang dianggap berbahaya itu ke dalam daftar buku-buku yang tak boleh dibaca oleh pemeluk-pemeluknya. Sebaliknya pada khalifah Islam di zaman keemasannya itu memerintahkan untuk menterjemahkan buku-buku dari bermacam-macam agama dan mazhab yang ada pada masa itu, supaya dapat diketahui, dibaca, diperiksa dan diperbincangkan oleh semua ahli ilmu dari kaum Muslimin. Umat Islam berani menempuh ujian, tak enggan menerima kebenaran walaupun datangnya dari pihak lain, tak takut menolak kebatilan sesudah diperiksa dan diselidiki, walaupun berada pada pihak sendiri.
Demikianlah pada permulaan abad VIII Masehi, pada waktu bangunnya "kebudayaan Islam" ini, orang Islam telah memperlihatkan ke muka bumi, bagaimana mereka telah mempunyai persediaan untuk menerima kebudayaan pada bangsa-bangsa terdahulu: Yunani, Persia, Romawi, India dan lain-lain; dan bahwa mereka mempunyai kecakapan dalam melindungi buah kesusasteraan lama, agar tidak hilang lenyap ditelan zaman: hasil-hasil yang tadinya bertebaran ke sana-kemari tidak dipedulikan oleh bangsa-bangsa yang telah jatuh dan ahli-ahli warisnya yang telah mundur dan hancur. Semua ini disimpan dengan maksud akan diberikan dan ditebarkan kembali ke benua Eropa, Afrika Utara dan Asia Barat pada masa itu. Di tangan Islam, hidup kembali kebudayaan-kebudayaan yang hampir lenyap itu dan timbullah ruh kebangkitan "renaissance" yakni 600 tahun lebih dahulu dari renaissance di Eropa Barat yang lahir pada abad XV itu. (Mohammad Natsir, op-cit., hal. 6-7).
Di bawah Bani Umayyah di Damaskus Syria, kita lihat orang Islam menempuh percobaan: mereka mempersiapkan diri untuk tugas besar, yang mereka terpanggil untuk melaksanakannya. Di bawah Bani Abbasyiyah di Baghdad Irak, mereka jadi gudang ilmu pengetahuan sedunia. Tiap bagian bumi diselidiki oleh petugas-­petugas khalifah untuk mencari kekayaan kuno yang tersimpan: kekayaan itu dibawa dan dipamerkan di depan umum yang mengagumi dan menyenanginya; Sekolah-sekolah dan akademi-akademi muncul di tiap pelosok; perpustakaan-perpustakaan umum didirikan di tiap kota terbuka untuk tiap pendatang, filsuf­-filsuf besar dunia lama dipelajari berdampingan dengan Al Qur’an. Galen, Dioscorides, Thematius, Plato, Aristoteles, Euklides, Ptolomeus, dan Appolonius mendapat penghargaan yang sepantasnya mereka terima. khalifah-khalifah sendiri hadir pada pertemuan-pertemuan kesusasteraan dan diskusi-diskusi filsafat. Buat pertama kali dalam sejarah umat manusia suatu pemerintah­an yang teokrasi tampak bekerjasama dengan ahli-ahli filsafat dan ikut mempersiapkan kemenangan-kemenangan dalam dunia filsafat.
Tiap kota dalam pemerintahan Islam berlomba-lomba mengatasi yang lain dalam pembinaan seni dan ilmu. Gubernur-­Gubernur mencoba menandingi Khalifah. Mengembala untuk mencari ilmu, menurut Hadist Nabi saw. adalah suatu kewajiban yang suci. Dari tiap penjuru dunia mengalir mahasiswa-mahasiswa dan sarjana-sarjana ke Cordova di Spanyol, Baghdad di Irak dan Kairo di Mesir untuk mendengarkan kata-kata cerdik pandai orang-orang Islam. Juga orang Kristen dari pelosok-pelosok Eropa yang jauh, menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan oleh sarjana­-sarjana Islam. Orang-orang yang kemudian menjadi kepala-kepala Gereja Kristen seperti Gerbert (Paus Sylvester II) mendapatkan kesarjanaannya dari guru-guru besar Islam. Timbulnya Kairo di bawah pemerintahan Al Muiz lidinillah menambah semangat persaingan untuk melindungi ilmu pada pihak Khalifah-Khalifah Bani Abbasyiyah dan Fathimimiyah. Al Muiz adalah Ma'mun di Barat, mereka berasal dari orang Islam Afrika yang tatkala itu menguasai seluruh benua Afrika bagian utara dari perbatasan timur Mesir sampai pantai Atlantik dan tepi-tepi gurun Sahara. Selama pemerintahan Al Muiz dan tiga orang penggantinya yang pertama, seni dan ilmu mengalami kemajuan besar di bawah perlindungan khusus para khalifah. Universitas bebas di Kairo, Darul Hikmat, yang didirikan Al Muiz, mendahului idea Bacon dengan fakta. Kaum Idris di Fes Marokko dan khalifah-khalifah Islam di Spanyol, berlomba-lomba dalam membina seni dan ilmu. Dari pantai Atlantik arah ke timur, sampai ke Samudera Hindia, bahkan lebih jauh lagi sampai ke Pasifik, berkumandang suara filsafat dan ilmu di bawah pimpinan Islam dan aspirasi Islam. Dan tatkala Bani Abbasyiyah kehilangan kekuasaannya atas pemerin­tahan Timur, pemimpin-pemimpin yang memegang tampuk pe­merintahan di daerah-daerah, terus memberikan perlindungan kepada filsafat, ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. (Sayid Ameer Ali, 1978; 560-561).
Orang-orang Islam belajar dari orang Cina teknik membuat kertas; dan pabrik kertas yang pertama didirikan di Baghdad pada tahun 800 Masehi. Sebagai akibatnya, perpustakaan tumbuh de­ngan subur di seluruh dunia Islam. khalifah Al Ma'mun, pada tahun 815 mendirikan perpustakaan "Baitul Hikmah" di kota Baghdad yang berisikan 1.000.000 (sejuta) buku. Pada tahun 891, seorang pengembara menghitung lebih dari 100 perpustakaan umum di Baghdad.
Pada abad X, suatu kota kecil seperti Najaf di Irak mempunyai 40.000 buku. Direktur observator Maragha, Nasruddin At Tusi memiliki kumpulan buku sejumlah 400.000 buah. Di dunia Islam sebelah Barat, yaitu Spanyol Islam, Khalifah Al Hakim dari Cordova dapat membanggakan diri pada abad X, karena memiliki suatu perpustakaan yang berisi 4.000.000 buku, sedangkan empat abad sesudah itu, raja Perancis Charles yang bijaksana, hanya memiliki koleksi 900 buku. Tetapi tak ada raja yang menyaingi Khalifah di Kairo Mesir, yaitu Al Aziz, yang memiliki perpustakaannya 1.600.000 (sejuta enam ratus ribu) buah buku, di antaranya 16.000 buah tentang matematika dan 18.000 tentang filsafat.
Rasa cinta kepada buku-buku itu dan pekerjaan asimilasi kebudayaan yang lebih dahulu seperti kebudayaan Persia, Cina, India dan Yunani tidak mengandung "ekletisme" (campuran tanpa hubungan). Orang-orang Islam yang terbuka terhadap warisan yang kaya itu dan menghidupkannya serta memperbaharuinya secara pandangan mereka sendiri, dapat memilih apa yang dapat bersatu dengan pandangan itu sesudah mereka suburkan dan mereka ubah. Dengan agama mereka itulah umat Islam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar