Rabu, 18 Mei 2011

-         yang berlawanan, sehingga tubuh orang tahanan tersebut menjadi terpotong-potong;
-         Membakar seluruh tubuh para tahanan dengan menggunakan besi panas membara;
-         Menuangkan minyak yang sedang mendidih ke tubuh para tahanan;
-         Mencocokan paku-paku dan jarum-jarum ke seluruh tubuh para tahanan;
-         Menyiksa kemaluan para tahanan;
-         Kuku-kuku tahanan dicabut sampai copot dengan menggunakan tang besi;
-         Orang-orang tahanan dipaksa tidur dengan telanjang bulat diatas balok-balok es dengan suhu 40 derajat dibawah nol;
-         Sebuah kunci dililitkan ke dalam rambut kepala para tahanan kemudian kunci diputas sekuat-kuatnya sehingga kulit kepala menjadi terkelupas seluruhnya;
-         Tubuh para tahanan disikat dengan sikat besi yang tajam, kemudian disiram spirtus;
-         Setelah tubuh para tahanan diikat kuat-kuat, maka dituangkanlah kaustik soda kedalam mulut, hidung dan telinga;
-         Tangan para tahanan diikat ke belakang, kemudian sebuah batu karang besar dihimpitkan ke punggungnya;
-         Tangan para tahanan diikat dengan tambang, kemudian digantung selama sehari semalam atau lebih;
-         Tubuh para tahanan dipukul dengan berpaku tajam secara terus menerus samapai tubuhnya bermandikan darah;
-         Menyayat dengan pisau atau pedang tubuh para tahanan;
-         Jari tangan dan jari kaki para tahanan dijahit menjadi satu.
(Nur Muhammad Khan: 1956: 70-72).
a.       Penjajahan Kristen terhadap negeri-negeri Muslim
-         Inggris menyerbu dan menjajah:
v     Siraj ad-Daulah India pada tahun 1757,
v     Malaysia pada tahun 1811,
v     Iran pada tahun 1838,
v     Aden pada tahun 1839,
v     Arabia Selatan dan Timur pada tahun 1840,
v     Mesir pada tahun 1882,
v     Sudan pada tahun 1898,
v     Irak dan Palestina pada tahun 1918.
-         Perancis menyerbu dan menjajah :
v     Aljazair pada tahun 1830,
v     Libanon pada tahun 1860,
v     Tunisia pada tahun 1881,
v     Maroko pada tahun 1912,
v     Syria pada tahun 1918.
-         Italia menyerbu dan menjajah Libya pada tahun 1911.
2.      Perang Kolonial Yahudi dan Kristen terhadap Islam di Timur Tengah
Sebagaimana diketahui bahwa hingga Perang Dunia I, Palestina masih tetap merupakan negeri Islam-Arab, yang termasuk di dalam dunia Islam; yang secara politis berada di dalam kekuasaan Kerajaan Islam Ottoman Turki. Inggris tidak ingin melihat negeri-negeri Islam-Arab tetap berada di bawah pengaruh Negara Islam Turki, yang dalam Perang Dunia I bagi Inggris merupakan negara musuh yang menjadi lawan sekutu. Untuk mendapat kekuatan dari bangsa Arab, maka Inggris menawarkan kepada negara-negara Arab agar menyokong Sekutu dan setelah selesai perang akan diberikan kemerdekaan sepenuhnya bagi setiap negara Arab termasuk Palestina.
Berdasarkan perjanjian antara Inggris dan negara-negara Arab, maka hendaknnya Arab ikut memerangi Turki. Untuk tujuan ini, timbullah korespodensi antara Henry Mc Mahon-Komisaris Tinggi Inggris di Kairo dengan Raja Syarif Husein di Mekah. Perundingan intens berlangsung antara bulan Desember 1914 dan bulan Juli 1915, dimana terjadi delapan kali pertukaran nota yang berlaku antara Mc Mahon dan Syarif Husein. (M. Farid Fachruddin, tanpa tahun: 12). Nota-nota tersebut, yang merupakan rincian dari perjanjian Inggris dengan negara-negara Arab, secara licik dikhianati oleh Inggris.
Gambaran tentang pegkhiantan itu dilukiskan dengan tepat oleh Anthony Nutting, bekas Menteri Luar Negeri Inggris tahun 1954-1956. Ia menyatakan di dalam pidatonya pad tanggal 2 Nopember 1967, di depan Konfrensi American Council for Yudaisme, antara lain : “Kita tidak bisa lupa karena bila kita lupa, tidak akan ada orang Arab yang lupa, bahwa pada tahun 1915 Inggris telah menjanjikan kepada Syarif Husein dari Mekah, bahwa sebagai imbalan bantuan tentara Arab melawan Turki (Sekutu Jerman pada Perang Dunia I), seluruh Palestina plus Irak, Syiria, Trans-Yordania dan Semenajung Arab akan dibebaskan dan merdeka, begitu penjajah Turki dikalahkan.
Begitu janji yang diikrarkan, begitu pula dengan cepat tentara-tentara Arab dikerahkan untuk memenuhi janji persekutuan ini. Tetapi begitu pula dengan segera Inggris dan Perancis mengadakan pertemuan dan mengadakan “Perjanjian Sykes-Picot” pada tahun 1916, dimana dicapai persetujuan untuk membagi-bagi Syria, Irak dan Trans-Yordania di antara kedua negara itu, kelak sehabis perang.
Sesudah itu, untuk melengkapi penipuan ini, pada bula Nopember 1917, Inggris memutuskan untuk mengambil alih Palestina sebagai pangkalan strategis untuk melindungi Terusan Suez di bawah lindungan payung kemanusiaan bernama “Deklarasi Balfour”. Sebagaimana dimaklumi bahwa Deklarasi Balfour adalah “janji Inggris kepada Yahudi” untuk memberikan Palestina sebagai tanah air nasional Yahudi.
Tidaklah mengherankan bila bangsa Arab merasa dikhianati dengan kelingking berkait, janji kemerdekaan yang telah diikrarkan kepada Syarif Husein dan bangsa Arab. Tetapi walau demikian, masih juga sampai saat itu mereka menaruh kepercayaan kepada sekutu-sekutunya (Inggris dan Perancis), melalui berbagai bujuk rayu dan janji. Bangsa Arab itu dikayinkan lagi bahwa kampung halaman (nationl home) bagi orang Yahudi itu tidak akan diperbolehkan menjadi suatu negara nasional dan bahwa hak-hak sipil dan agama dari masyarakat non Yahudi –suatu ungkapan yang kenes- kalau tidak dikatakan jahat mengenai mayoritas mutlak penduduk adalah Arab, akan dilindungi. Sebab itulah maka bangsa-bangsa Arab menyangka, barangkali penolakan pemberian janji kemerdekaan itu sifatnya hanya sementara dan faktanya waktu itu penduduk bangsa Arab Palestina berjumlah 92 % dan penduduk Yahudi hanya 8 %. Sehingga dengan keyakinan semacam itu, pemimpin-pemimpin Arab seperti Amir Faisal menyetujui untuk dibentuknya suatu penampungan bagi orang-orang Yahudi yang dikejar-kejar di Eropa.
Bagaimanapun juga, kerjasama semacam ini memanglah dalam harmoni yang penuh dan total dengan tradisi keramah-tamahan bangsa itu, yang telah dilakukan oleh orang-orang Arab berabad-abad lamanya kepada orang-orang Yahudi yang diburu-buru di Eropa, sejak dari inkwisisi Spanyol sampai kepada penjagalan Yahudi besar-besaran yang dilakukan oleh Tsar Rusia. Suatu bangsa, bahkan satu-satunya bangsa di seluruh yang dinamakan dunia beradab yang tidak pernah memburu-buru, menganiaya bangsa Yahudi adalah orang-orang Arab.” (Anthony Nutting; tanpa tahun: 1-3).
Sebagaimana diungkapkan di muka, bahwa semenjak Inggris menduduki Palestina pada tahun 1917, maka negara-negara Barat Kristen (Sekutu) seperti Perancis dan Amerika Serikat, melalui Liga Bangsa-Bangsa (Volkendbond/Covenant of League of Nations) telah memperkokoh kedudukan Inggris dengan “Mandat” yang diberikan pada tanggal 24 Juli 1922. Dalam Mandat itu disebutkan dengan jelas isi dari perjanjian “Deklarasi Balfour”.
Sehubungan dengan ini pada bulan Mei 1930 delegasi Palestina pergi ke London diantaranya terdapat Mufti Palestina Amin Al Husaini. Mereka berjumpa dengan Ramsi Macdonald, Perdana Menteri Inggris, dan berunding mengenai soal “Mandataris” (yang bertentangan dengan janji Inggris kepada bangsa Arab di masa Perang Dunia I); dan mengenai piagam tersebut serta mengenai sikap Inggris yang memihak bangsa Yahudi. Perdana Menteri Ramsi memberi jawaban bahwa masalah-masalah tersebut adalah wewenang dari Liga Bangsa-Bangsa.
Dengan jawaban ini, pada bulan Juni 1932, Amin Al Husaini berangkat menuju Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa untuk menemui Sekretaris Jenderal Liga tersebut yaitu Eric Drumond (berkebangsaan Inggris). Pembicaraan Mufti Palestina ini dengan Sekretaris Jenderal LBB mendapat kesimpulan bahwa Liga Bangsa-Bangsa tidak membuat rencana piagam mandataris tersebut, bahwa Pemerintah Inggrislah yang membuannya dengan persetujuan Yahudi.
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Eric Drumond, ternyata kemudian hari benar. Piagam Deklarasi Balfour itu dibuat oleh Pemerintah Inggris bersama-sama dengan tokoh-tokoh Yahudi. Dr. Weizman (tokoh Yahudi) menulis di dalam buku harinnya sebagai berikut : “Sesungguhnya seorang Yahudi Amerika bernama Ben Yamin Cohen bertindak sebagai sekretari dari Menteri Luar Negeri Inggris Lord Crezon telah membuat piagam mandataris itu yang disetujui pula isinya.” (Hasan bin Talal; 1980 : 21).
Pada tahun 1929 terjadi kerusuhan yang serius, yaitu ketika timbul pertikaian mengenai peribadahan di Tembok Ratapan Yerusalem, dan di Hebron. Kerusuhan-kerusuhan ini mengakibatkan lahirnya Komisi Shaw pada tahun 1930. Komisi melaporkan sebab-sebab kerusuhan dan memajukan rekomendasi untuk menghindari peristiwa yang demikian dikemudian hari. Sebab yang lebih serius dari konfrontasi Yahudi-Islam ialah semakin meningkatnya angka imigrasi Yahudi ke Palestina berkat Deklarasi Balfour yang dimasukan ke dalam Piagam Mandat.
Pada tahun 1933, ketika Hilter Nazi berkuasa di Jerman imigrasi Yahudi ke Palestina naik sampai 30.327 orang, dibandingkan tahun sebelumnya (1932) hanya berjumlah 9.533 orang. Masuknya bantuan modal Amerika Serikat ke 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar