Selasa, 17 Mei 2011

-         yang berperan sebagai pemberi hukum kepada alam semesta. (Harold H Titus, et.el; 1984: 309).
-         Henri Bergton (1859-1941): kita dapat pergi kebalik kenyataan, tetapi tidaklah seperti yang dilakukan oleh akal, yaitu menaruh kita dihadapan kenyataan, melainkan dengan meletakan diri kedalam kenyataan. Hal itu kita lakukan dengan menyadari bahwa kita ditempatkan didalamnya. Akal telah melupakan hal ini. Apa yang menentukan dari pada kenyataan, kita temui bukanlah dengan berorientasi ke dunia luar, dibimbing oleh akal, yang senantiasa semakin teliti dan semakin menurut metoda, melainkan dengan bertafakur kedalam dunia alam. Apapun yang mengisi hakikat yang paling dalam daripada apa yang ada jadinya, kita terbuat daripadanya. Dengan kata lain: bila kita telah memenuhi diri kita yang sebenarnya, maka kita menemui pula inti, hakikat dari segala kenyataan, jadi juga dari kenyataan disekitar kita. (R.F Beerling, 1966:15.)
Dari pernyataan-pernyataan para tokoh sekuler, baik dari kaum empiris yang mempercayai bahwa kebenaran hanya bisa perankan dari penyerapan inderawi manusia dengan tokohnya John Lock dan Homme, kaum rasionalis yang mempercayai bahwa kebenaran bisa diperoleh dari otak dengan logika akalnya dengan tokohnya Rene Descarter, kaum idealis yang mempercayai bahwa kebenaran hanya ada pada idea / gagasan yang bersemayam dalam pikiran dengan tokohnya Hegel, kaum materalis yang mempercayai bahwa kebenaran berasal dari materi, yang berbentuk reaksi-reaksi kimia pada syarah-syaraf otak, dengan tokohnya Ludwig Feuerbach maupun kaum irrasional yang mempercayai bahwa kebenaran bisa diperoleh dari hati dengan logika intuisinya dengan tokohnya Henri Bergton, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
-         Kebenaran itu bersumber dan berasal dari manusia, baik yang berasal dari panca indera, otak, idea, materi maupun hati
-         Arogansi kaum sekuler adalah warisan dari arogansi kaum Yahudi dan Kristen yang melahirkan sekularisme sebagaimana tertuang dalam ajaran kitab Perjanjian Lama (Taurat) dan kitab Perjanjian Baru (Injil).
-         Arogansi tersebut, baik dilihat dari pandangan theology, filosofis, mistis maupun saintifik (ilmiah) adalah bukti dari kepicikan dan kebodohan manusia sekuler yang ditutupi dengan bermacam jargon dan semboyan.
Manusia sebagai mahluk hidup, yang pernah mengangkat dirinya sebagai Tuhan (Homo Homini Deus) dan pernah mengklaim dirinya sebagai pusat kebenaran serta pemberi kriteria tentang “benar dan salah”, “baik dan buruk” (Anthroposentris), tetapi ternyata belum mengetahui hakikat dirinya.
Secara filosofis, “betapa besar usaha manusia untuk menyelami dirinya dan bermenung tentang dirinya, selalu Ia akan berhadapan dengan kegelapan hidupnya. Dan dia tidak pernah berhasil menembus dirinya secara menyeluruh, ia menjadi orang asing bagi dirinya, hidupnya penuh misteri.” (P Leenhouweis, 1988:68). Dan “walaupun sejak berabad-abad manusia telah berusaha memecahkan masalah-masalah pokok tentang hakikat dan peran eksistensinya, dan sebagai jawabannya tercetus berbagai-bagai pendapat, yang bukan saja saling mengisi serta melengkapi, melainkan juga saling bertentangan. Memang perlu diakui bahwa manusia bukanlah “problem” yang akan habis dipecahkan, demikian disebutkan sifat dan cirinya secara tuntas”. (Soerjanto Poespowardojo, 1978:1). Karenanya tidak mengherankan apabila Alexis Carrel, pendiri lembaga Perancis untuk Pengkajian Masalah Kemanusiaan, dan merupakan salah satu seorang terkemuka pada zaman modern sekarang ini, berkesimpulan bahwa “manusia sebagai yang tidak dikenal”. (Ali Syariah; 1983:49).
Secara ilmiah, menurut Ernst Cassirer, para ilmuan telah merusak pandangan tentang manusia, karena tidak ada lagi suatu gagasan sentral, yang mencerminkan kesatuan kodrati manusia. Sebab secara empiris para ilmuan mereduksi manusia pada kenyataan taktis semata-mata sesuai dengan sudut pandang yang dipakainya. Demikian Freud menganggapnya sebagai naluri sexual, Marx menyatakan sebagai naluri ekonomi, sedangkan Nietzech memerasnya sebagai kehendak menuju kekuasaan belaka.
Krisis pengertian tentang manusia pada zaman modern ini diperburuk oleh kemajuan ilmu pengetahuan para sosiolog, politisi, biolog, anthropolog, psikolog maupun ekonom mulai mendekati masalah manusia dari masing-masing disiplinnya sebagai titik tolak. Tidak ada lagi gagasan umum sebagai “inti yang hakiki” yang diterima secara bersama. Masing-masing pemikir berjalan dengan evaluasi serta konsepsi sektoralnya, dan dengan demikian tidak tampak suatu titik temu diantara mereka. Masing-masing hidup dalam alam pikirannya sendiri dan berbicara dalam bahasa teknisnya sendiri. Tidak mengherankan bahwa dengan demikian menjadi sulitlah mengadakan komunikasi ataupun dialog diantara mereka. Hal inilah menurut Karl Jasper, yang menimbulkan bahaya fragmentasi, dimana manusia bukan lagi diterima sebagai pribadi seperti adanya, melainkan dipreteli menjadi salah satu bagian daripadanya. Suatu reduksi kepada suatu elemen yang taktis belaka. (Soerijanto Poespowardojo; 1978:2).
a.     Manusia belum mampu memberi kriteria makhluk hidup
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya zat hidup (organisme) dan zat mati (anorganis). Namun dalam penelitian ilmiah, kita menjadi sadar bahwa batas tadi itu tidak dapat dibatasi dengan pasti. Dahulu orang mengadakan perbedaan dengan jelas antara organisme dan anorganis, tetapi kini zat-zat organisme dapat dibuat secara besar-besaran melalui methoda sintesis, yang penting ialah makin kabur batas antara sel-sel hidup (organisme yang paling kecil) dan zat an-organis. Diantara kedua kutub itu terdapat misalnya suatu deretan jenis virus yang khas, yang kadang-kadang disebut hidup, karena dengan manumpang pada sel-sel hidup didalam sebuah organisme. Virus itu dapat berkembang biak, tetapi kadang-kadang juga dinyatakan mati, karena tidak mempunyai struktur sel, dan mirip dengan sekelompok molekul biasa seperti terdapat pada sel-sel tertentu (seperti virus mozaik tembakau). Sifat”mati” itu tampak dalam penelitian di laboratorium, sedangkan sifat “hidup” kentara bila sebuah virus melakukan fungsinya sebagai benalu didalam suatu organisme yang hidup.
Demikian pula secara methodapun sukar mematoki batas-batas antara organisme dan anorganis. Bila kita ingin menyelidiki zat-zat kimia, maka bahannya harus diisolasi dulu, diangkat dari konteks (hubungan) dengan organisme dan dengan demikian bahan yang ingin kita selidiki seolah-olah telah dimatikan, sekurang-kurangnya bila kita ingin memberikan suatu rumusan yang lengkap dan pasti. Jadi selalu ada faktor “X” yang tidak pasti dan faktor ini oleh Bohr pernah dinamakan “relasi-tidak pasti”.
Membatasi daerah kehidupan dipersukar oleh pengaruh dari penilaian mikrofisis yang menampakan bahwa kejadian itu tak dapat dipastikan dengan “eksak”, fakta ini juga tampak dalam bidang biologi, seperti pernah diutarakan oleh Pascual Gordon. Ternyata ada daerah-daerah yang sangat kecil yang peka sekali terhadap pengaruh “partikel” (bagian-bagian kecil) yang mendorong perkembangan organisme kedalam suatu arah tertentu. Misalnya gen-gen (yang mengandung sifat yang dapat diturunkan) terkena oleh sebuah partikel karena disinari oleh sinar “X”, maka gen-gen itu dapat berubah, mengalami mutasi (misalnya biji kembang sepatu kuning). Proses ini terutama diselidiki oleh Timmofeeff dan penelitian terhadap organisme mikro itu pernah dinamakan biologi quantum. (C.A. van Peursen; 1980: 168-169).
Kesulitan untuk mematoki batas-batas antara organisme dan anorganis yang muskil untuk diatasi, maka sekarang lebih baik dan lebih berguna untuk memberikan suatu deskripsi singkat mengenai gejala-gejala kehidupan yang dipaling menonjol. Adapun sifat pertama yang menarik perhatian ialah bentuk-bentuk dan struktur-struktur tertentu (morfologi), kemudian fungsi-fungsi tertentu (fisiologi). Ternyata kedua bentuk dan fungsi pada hakekatnya merupakan dua aspek dari gejala kehidupan yang sama.
Kemudian organisme itu bercirikan “isoleman” terhadap dunia sekitarnya, organisme itu membulatkan diri secara anatomis dan menyendiri. Gejala itu sudah mulai tampak pada organisme yang bersel satu, dan makin meningkat pada mahluk-mahluk hidup yang lebih rumit susunannya. Bunga karang umpamanya, belum mampu menutup dirinya terhadap dunia air disekitarnya, tetapi pembatasannya terhadap air sudah jelas pada ikan-ikan paus. Perkembangan morfologi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar