Selasa, 17 Mei 2011

pengetahuan dan melahirkan kemauan / kehendak (Abdullah Yusuf Ali; 1978: 643). Sedangkan Al-Ghazali menyatakan; hal yang membedakan manusia dengan organisme lainnya ialah “sifat roh yang menjadi inti manusia”. (Ali Issa Othman; 1991: 166).
Didalam teori munculnya manusia modern (homo sapien) pertama di planet bumi ini dinyatakan bahwa kaunggulan manusia atas hewan tingkat tinggi, antara lain disebabkan otaknya. Bertentangan dengan pendapat umum bahwa keunggulan tersebut bukan hal bobot, sebab otak dari banyak mastodon lebih berat; juga bukan hal proporsi bobot otak dibandingkan dengan bobot total dari badan, dalam hal itu, banyak ikan akan mengalahkan manusia, juga bukan hal luasnya materi otak, sebab ikan lumba-lumba, bila semua belitan otaknya dibentangkan, akan mempunyai sebuah otak yang lebih luas. Keunggulan otak manusia tergantung pada susunannya yang bersifat asimetris, jadi diferensial. Tetapi susunan tatanan syaraf yang asimetris saja tidak cukup untuk membuat manusia lebih cerdas dan mempunyai kemauan guna mengatasi hewan tinggi.
Dalam penelitiannya “Panfield” telah berhasil menyusun suatu peta yang cukup lengkap, yang menggambarkan bagian-bagian otak yang mengatur kemampuan berbicara, bergerak dan segala macam fungsi indera manusia, baik yang internal maupun yang eksternal. Walaupun demikian, baik intelegensia (kecerdasan / pemikiran) maupun kehendak (kemauan) sama sekali tidak bisa dialokasikan dalam suatu bagian otak. Otak adalah pusat segala ingatan, indera perasaan, emosi dan daya gerak. Tetapi otak itu sama sekali bukan organ dari intelegensia dan kehendak.
Panfield mengatakan; “tidak ada satupun dari kegiatan yang dikaitkan dengan pikiran (the mind), yang bisa dimulai dengan memberikan simulasi elektroda atau “epileptice discharge”. Ia menambahkan, “lagi pula tidak ada bagian otak yang apabila diberi stimulasi elektrik akan menyebabkan pasien percaya (to believe) atau mengambil keputusan (to decide)”. Elektroda dalam percobaan ini bisa menyebabkan timbulnya berbagai macam kenangan dan perasaan pada para pasien, tetapi biar bagaimanapun, rangsangan elektroda tetap tidak dapat menyebabkan pasien melakukan kegiatan berpikir seperti ketika mengerjakan hal-hal matematika / aljabar umpamanya. Bahkan bentuk pikiran yang paling sederhanapun tidak mungkin bisa distimulasi oleh rangsangan elektroda ini. Elektroda mungkin saja bisa menyebabkan pasien melakukan gerakan-gerakan diluar kehendaknya, tetapi elektroda tidak mungkin bisa membuat pasien “menghendaki” melakukan gerakan. Jadi jelaslah bahwa intelegensia dan kehendak manusia tidak ada organnya sama sekali (Louis Leahy; 1991: 44). Lebih lanjut Panfield mengemukakan bahwa pengetahuan dan penguasaan ilmu menentukan suatu jarak. Roh tidak bisa merupakan suatu fenomena sampingan (epifenomen) dari komponen syaraf saja, karena roh-lah, yang harus menjaga, mengatur dan membimbing keseluruhan kegiatan. Roh-lah . pikiranlah dan bukan otak sekaligus mengawasi dan mengatur. Roh-lah / pikiran jugalah yang bertanggung jawab atas persatuan yang kita alami dalam semua kegiatan, pikiran, perasaan dan emosi kita. Persatuan dari pengalaman kita yang bersifat sadar dimungkinkan oleh adanya pikiran yang sadar, dan bukannya oleh mekanisme syaraf.
Kalau otak manusia dianggap sebagai komputer yang sangat canggih, maka komputer tersebut hanya bisa dijalankan, seperti semua komputer, oleh suatu pikiran. komputer (sama halnya dengan otak manusia) harus diprogram dan dioperasikan oleh seorang yang mampu untuk berfikir secara independen. (Louis Leahy; 1991: 47).
Dalam hubungan ini, Iqbal semacam memperkuat pendapat Panfield, tatkala ia mengomentari Qs, 7:54 secara filosofis mengatakan bahwa watak hakiki dari “roh”adalah bersifat memimpin, karena dia bergerak secara spiritual yang memimpin dari Tuhan (Iqbal; 1966: 120).
Dengan demikian ada perbedaan yang prinsipal antara jiwa disatu pihak dengan roh dipihak lainnnya. L Klages berpendapat bahwa roh menunjukan pengalaman tentang “aku” yang lebih luhur, sedangkan “jiwa” dikaitkan dengan kehidupan jasmani yang berbeda dari pengalaman roh. (C.A. van Peursen; 1980: 235).
Dari perbedaan yang mendasar antara jiwa dan roh, akan membawa akibat perbedaan fungsi masing-masing. Potensi jiwa berfungsi untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan. Untuk mempertahankan kehidupan, organisme mencari tempat, sehingga lingkungannya memungkinkan ia bisa bertahan untuk hidup. Oleh karena itu organisme, khususnya hewan senantiasa berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain secara periodik ataupun secara spontan, guna mendapatkan tempat yang lingkungannya memungkinkan dia hidup. Sedangkan untuk melanjutkan hidup, dia perlu kawin dan melahirkan potensi keturunannya.
Potensi jiwa secara nyata terikat pada instink (naluri). Instink itu merupakan kemampuan yang dimiliki oleh suatu organisme sejak lahir, yaitu kesanggupan melakukan hal-hal yang kompleks tanpa latihan sebelumnya, terarah pada tujuan yang bermanfaat bagi organisme, tidak disadari dan berlangsung secara mekanis. Dengan bantuan insting, hewan bertingkah laku tepat sekali dalam memenuhi segala keperluannya; seperti antara lain: berpindah tempat mencari air, mencari makanan, mengenali musuh, kawin dan lain-lain. Insting yang begitu menonjol pada dunia hewani juga berlaku pada manusia (Kartini Kartono; 1990: 100). Oleh karena itu potensi jiwa tidak bisa meningkatkan kualitas hidup. Kita lihat semua flora dan fauna dari sejak kelahirannya di planet bumi. Ini sampai sekarang pola kehidupannya tidak pernah meningkat; mereka tidak mampu berbuat lebih dari sekedar keperluan untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan; mereka tidak pernah mampu membuat alat atau menciptakan sesuatu yang terus meningkat untuk memudahkan segala keperluan hidup mereka. Tetapi bagaimana dengan bibit unggul pada flora dan fauna, atau latihan untuk meningkatkan kemampuan pada hewan, seperti pada ikan lumba-lumba dan anjing laut? Peningkatan kualitas yang sangat terbatas itu, semuanya karena rekayasa manusia, bukan hasil budi-daya flora dan fauna itu sendiri.
Berbeda dengan roh yang hanya dimiliki oleh manusia, yang potensinya paling menonjol pada peningkatan kualitas hidup, baik pada fisik-material maupun mental-spiritual, seperti yang dijumpai didalam kebudayaan dan agama.
Selanjutnya, bagaimana hubungan antara badan dengan roh, antara jasmani dengan rohani? Masalah hunungan badan dengan roh atau istilah filsafat Barat hubungan badan dengan mental, hubungan badan dengan akal dan filsafat tentang manusia senantiasa menjadi problema yang tidak kunjung selesai. Descartes mengajukan konsepsi “interaksionisme”, yang menyatakan hubungan sebab-musabab badan (fisik) akan mempengaruhi sebab-musabab mental; dengan demikian juga sebaliknya. Sedangkan Leibniz mengemukakan konsepsi “paralelisme”, dimana dinyatakan antara badan dengan roh senantiasa berada dalam kesejajaran, yang sejak awal telah diatur oleh Tuhan. Kemudian Spinoza dan Kant mengajukan konsepsi “aspek ganda”, yang menyatakan / menganggap bahwa roh (akal) dan badan sebagai dua aspek dari satu realitas, dimana fisik dan mental mempunyai hubungan timbal-balik. (Harold H Titus, et.al; 1984: 85-88).
Dalam hubungan ini kita tidak perlu menerima atau menolak konsepsi tersebut diatas, karena kita mempunyai pandangan sendiri. Dalam teori fisika quantum telah dibuktikan bahwa partikel-partikel dasar (materi) dan energi / cahaya adalah manifestasi bolak-balik dari sesuatu yang bersifat spiritual: materi – spiritual – energi / cahaya. Karenannya hakikat materi adalah spiritual sedang roh , sebagaimana telah didiskusikan dimuka, bahwa hakikatnya adalah spiritual, yang berfungsi memimpin dan mengendalikan manusia didalam kehidupannya.
Oleh karena itu pertemuan antara badan dengan roh adalah pertemuan antara dua hakikat yang sama, yaitu sama-sama bersifat spiritual. Dengan demikian pertemuan keduanya bersifat melarut dan homogen, bagaikan pertemuan air hujan dengan air sungai dilaut. Mereka larut didalam kesatuan yang utuh. Apa saja yang terjadi pada diri manusia, baik yang tampaknya bersifat fisik / badan / jasmani ataupun mental / spiritual / rohani adalah satu kejadian yang tunggal, yaitu diri manusia.
a.     Manusia belum mampu mengatur dirinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar