Selasa, 17 Mei 2011

palsu semacam itu dan menyingkapkan hakekat yang terkandung di balik itu. Cukuplah bagi kaum muslimin sebuah contoh masjid Dhirar di zaman Rasulullah saw. (Abdul Karim Zaidan, II, 1984: 160-162)
Peristiwa penghancuran masjid Dhirar yang dijadikan “markas kaum munafiq”, selang beberapa bulan setelah perang Uhud.
a.       Pengusiran Kaum Yahudi Banu Nadhir
Dalam konstitusi Negara Islam Madinah, golongan minoritas kaum yahudi banu Nadhir telah diatur dalam pasal 25 sampai dengan 35 tentang hak dan kewajiban mereka. Salah satu kewajibannya adalah ketentuan membayar ongkos perang (diyat) yang belum dibayarkan oleh mereka pada perang Uhud. Untuk itu Rasulullah saw sebagai kepala pemerintahan Negara Islam Madinah, menagih kewajiban kaum yahudi Banu Nadhir, melalui pimpinannya. Rasulullah saw yang didampingi oleh Abu Bakar, Umar dan Ali mendatangi rumah pemimpin Banu Nadhir untuk menagih kewajiban kaum yahudi tersebut. Pemimpin Banu Nadhir menerima baik kedatangan Rasulullah saw dan berucap: “baiklah Abu Qasim (Rasulullah saw) kami akan membayar kewajiban kami”. Rasulullah saw dipersilahkan duduk dekat sebuah tembok, didampingi oleh ketiga sahabatnya.
Pemimpin Banu Nadhir masuk kedalam untuk berpura-pura mengambil uang untuk diserahkan kepada Rasulullah saw, tetapi sebenarnya ia menyuruh anak buahnya untuk membunuh Rasulullah saw. Anak buahnya bernama Amr bin Jahasy, naik keatas tembok sambil membawa batu besar untuk dijatuhkan keatas kepala Rasulullah saw. Sebelum rencana jahat Banu Nadhir berjalan, Allah SWT telah member tahu rencana jahat itu melalui wahyu-Nya, sehingga ia dan sahabatnya meninggalkan rumah pimpinan Banu Nadhir secara diam-diam, padahal tagihan belum dibayar. Dalam perjalanan pulang Rasulullah saw menceritakan rencana makar yang akan dilakukan oleh Banu Nadhir terhadap dirinya.
Peristiwa rencana makar ini memperlengkap kejahatan kaum yahudi, yang senantiasa bersikap bermusuhan dengan pimpinan Negara Islam Madinah.
Sesuai dengan konstitusi, maka Rasulullah saw mengambil tindakan mengusir kaum yahudi Banu Nadhir dari daerah kekuasaan Negara Islam Madinah.
Pasukan tentara Islam mengepung perkampungan Banu Nadhir yang dilindungi oleh benteng-benteng dan tembok-tembok tinggi selama enam hari enam malam, pasukan tentara Islam menutup rapat jalan-jalan yang mengubungkan perkampungan Banu Nadhir dengan dunia luar. Melihat kekuatan yang tidak seimbang, kaum yahudi Banu Nadhir meminta berunding dengan Rasulullah saw dengan usul bisa meninggalkan kota Madinah, tanpa ada yang ditahan dan dibunuh. Usul itu diterima oleh Rasulullah saw dengan syarat tidak boleh membawa persenjataan perang dan harta benda, kecuali sekedar keperluan yang bisa dibawa oleh seekor unta, bagi tiap-tiap orang. Mereka berangkat meninggalkan kota Madinah menuju daerah Khaibar dan Syria. Peristiwa ini terjadi pada tahun keempat Hijriah (A. Syalabi; 1987: 133-136).
b.       Perang Ahzab (sekutu)
Tokoh kaum yahudi Banu Nadhir, yang bernama Huyai bin Ahtab, Salam bin Huqaiz dan Kimah bin Rabi’ah, yang tinggal di Khaibar, karena terusir dari Madinah memulai perannya sebagai tokoh “perang Ahzab” (sekutu).
Huyai bin Ahtab menghasut qabilah-qabilah musyrik arab disekitar Madinah seperti Banu Ghatafan, Banu Sulaim, Banu Asad dan terutama musyrik Mekah. Issue utamanya “menumbangkan Negara Islam Madinah, untuk kemerdekaan qabilah-qabilah sekitar Madinah dan memantapkan qabilah Quraisy Mekah sebagai tetangga Madinah (musyrik) yang permanen.
Kemudian Huyai bin Ahtab menghasut kaum yahudi Banu Qaraizah dibawah pimpinan Kaab bin Asad al Quraizi, satu-satunya qabilah yahudi yang masih tinggal di Madinah dan menjadi warga Negara Islam Madinah, serta terakhir Huyai bin Ahtab menemui kaum munafiq dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul, yang disambut dengan sikap sebagai pahlawan.
Pasukan Ahzab akan menyerang dari luar sebanyak 10.000 orang, dan kaum yahudi Banu Quraizah dan kaum munafi akan membuat huru-hara dari dalam kota Madinah.
Semua rencana dan kegiatan pasuka Ahzab (sekutu) telah diketahui dengan baik oleh Rasulullah saw dan kemudian memanggil seorang tokoh qabilah / Banu Asyja, Nuaim bin Masiid, yang secara sembunyi-sembunyi ia telah masuk Islam. Sebagai seorang tokoh qabilah Banu Asyja, telah dikenal oleh qabilah-qabilah musyrik sekitar Madinah dan musyrik Quraisy, juga oleh kaum yahudi Banu Quraizah maupun kaum munafiq. Rasulullah saw memberikan amanah perjuangan kepada Nu’aim dengan strategi intelijen: “desinformasi”. Desinformasi (informasi yang salah dan bertentangan) harus diberikan kepada setiap qabilah yang menjadi pasukan Ahzab, tidak terkecuali kaum yahudi Banu Quraizah dan kaum munafiq. Degan desinformasi yang diberikan oleh Nu’aim kepada qabilah-qabilah Ahzab, maka timbullah kecurigaan dan saling tidak percaya satu qabilah dengan lainnya. Untuk mengecek kebenaran desinformasi itu tiap qabilah saling menukar informasi, hasilnya antara qabilah telah saling tidak percaya, dan akhirnya, pasukan Ahzab terpecah belah, tiap-tiap qabilah menarik diri dari pasukan Ahzab dan kembali ke negerinya masing-masing, padahal mereka telah 20 hari dan malam mengepung kota Madinah. Dan perang pasukan Ahzab dengan pasukan tentara Islamdimenangkan oleh tentara Islam tanpa pertumpahan darah yang berarti dan peristiwa ini terjadi pada tahun kelima hijriah atau 626 masehi (Musthafa Mahmud; 1981: 63-65).
c.       Hukuman Pembunuhan Kaum Yahudi Banu Quraizah
Menurut konstitusi Negara Islam Madinah kaum yahudi Banu Quraizah adalah warga Negara dari golongan minoritas yang harus taat pada konstitusi seperti diatur dalam Bab V, Pasal 24 sampai dengan 35, tentang hak dan kewajiban mereka, tetapi dalam Perang ahzab (sekutu), justru Banu Quraizah bersekutu dengan pasukan Ahzab untuk menghancurkan Negara Islam Madinah. Dengan demikian kaum yahudi Banu Quraizah secara konstitusional telah melakukan penghianatan dan pemberontakan kepada Negara. Oleh karena itu Rasulullah saw, sebagai kepala Negara dan Panglima Tertinggi Tentara Islam Madinah, bersabda: “siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan shalat Asar melainkan di perkampungan Banu Quraizah”. Mendengar ucapan Rasulullah saw, pasukan tentara Islam segera menyerbu Banu Quraizah, untuk menghukum mereka karena pengkhianatan dan pemberontakan yang telah mereka lakukan.
Perkampungan dan benteng-benteng Banu Quraizah dikepung selama 25 hari dan malam, sampai terpaksa menyerah tanpa syarat. Untuk menerima penyerahan itu, Banu Quraizah menyerahkan keprcayaannya kepada Saad bin Muaz, yang dahulu pernah menjadi sekutu kaum yahudi. Kepadanya diserahkan semua keputusan yang diambilnya. Padahal, Saad yang sekarang telah menjadi salah satu tokoh Anshar itu pernah memperingatkan Banu Quraizah pada saat-saat genting, agar mereka jangan mengkhianati konstitusi Negara Islam Madinah. Tetapi saran itu tidak digubris sama sekali.
Pada saat keputusan akan diambil oleh Saad bin Muaz, sebelumnya ia bertanya kepada Banu Quraizah: “betulkah kalian akan menerima dengan patuh segala keputusan yang akan ditetapkan? Mereka menjawab serentak: “ya”. Kemudian Saad berpaling kepada Rasulullah saw sambil bertanya: “bagaimana ya Rasulullah?” ia juga menjawab “ya” lalu Saad berucap: “tiba saatnya bagi Saad untuk bersikap adil dan mengambil keputusan yang wajar. Saya putuskan semua anak-anak laki-laki dewasa dihukum mati; anak-anak dan wanita menjadi tawanan!”
Menyambut keputusan yang ditetapkan Saad ini, Rasulullah saw berkata: “Engkau telah mengambl keputusan yang ditetapkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh”.
Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun kelima hijriah atau akhir 626 masehi. (Musthafa Mahmud; 1981: 66-71).

d.       Perang Mu’tah
Setelah perjanjian “Hudaibiyah”, yaitu perjanjian “perdamaian” selama sepuluh tahun antara kaum musyrik Mekah dengan umat Islam Madinah, yang terjadi pada awal tahun kedelapan Hijriah, maka Rasulullah saw mengirimkan para utusannya ke Negara-Negara sekitar Negara Islam Madinah seperti: Heraklius (Kaisar Kristen Romawi Timur), Kisra (Kaisar Persia Sassanid), Manqauqis (Raja Ethiopia), Harrits al Ghassani (Raja HIra), Haritsal Himyari (Raja Yaman) dan Najari (Raja Abessina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar