Selasa, 17 Mei 2011

induknya) atau dibuat secara artifisial, unsur-unsur itu menyangkut apa yang inderawi organik dan tersusun dalam organisasi itu. Tetapi yang organik dan tersusun dalam suatu individu otoperfektif, harus mengandung sebuah dinamisme fundamental dan satu, yang bukan organik dan tersusun, tapi yang menyusun dan berkesadaran.
Dengan kata lain, badan hidup itu tidak bisa bersifat objektif semata-mata, tidak dapat direduksi kepada apa yang bisa diobservasikan. Dia harus juga bersifat subjektif, mempunyai semacam interioritas, dan semacam subjektifitas. Dia tidak bersifat organic semata-mata, seperti instrument saja, tetapi dia harus mempunyai juga sesuatu yang menyerupai suatu “aku”, yang dapat mempergunakan yang organik dan yang instrumental “otak”, tulis Raymond Ruyen, seandainya dia hanya berupa kumpulan simpul syaraf (neuron), sungguhpun masing-masing dihubungkan melalui pembuluh-pembuluh syaraf, namun tidak pernah akan bisa berkata “aku lari”, “aku berjalan”. Jean Lhemise menekankan lebih jauh lagi dengan katanya: “meskipun otak bisa dibandingkan dengan sebuah mesin yang terdiri atas semua alat elektronik yang paling sempurna dan dari sakelar-sakelar yang paling teratur, namun masih perlu ditambah suatu “Operator”.
Prinsip metainderawi yang disebut kesadaran, subjektifitas atau jiwa, jelas tidak bisa terdapat pada unsur-unsur yang digunakan untuk membentuk suatu organisme secara artifisial. Tetapi juga jelas bahwa seandainya suatu eksperimen dalam laboratorium berhasil membuat suatu organisme yang tersusun secara lengkap, maka prinsip metainderawi harus berada didalam organisme tersebut. Itulah sebuah kesimpulan konsepsi filsafat, yang menaruh beberapa ilmuan sendiri tidak bisa dibuktikan maupun disangkal oleh ilmu pengetahuan. Inilah yang pernah dipikirkan oleh P. Chourd, seorang guru besar ilmu tumbuh-tumbuhan di Sarbone: “bahwa embrio manusia terjadi dua sel, masing-masing tanpa jiwa, dan disatukan melalui kegiatan seksual manusia. Embrio terjadi dari suatu susunan yang artifisial namun yang manusiawi melalui makromolekular-makromolekular yang sesuai. Seandainya embrio itu mempunyai secara morfologis dan fisiologis karakter-karakter embrio manusia, maka ia seharusnya mampunyai jiwa. Penciptaan suatu jiwa sama sekali tidak merupakan gejala eksperimen, dan eksperimen tidak bisa menyangkal maupun membuktikannya. (Louis Leahy; 1985: 44-45).
a.     Manusia belum tahu hakikat materi
Kemudian, apabila kita belum mampu memberi batasan secara eksak antara anorganis dengan organisme, kitapun belum sepakat tentang kriteria-kriteria tentang organisme. Apakah dia hanya terdiri atas unsur-unsur fisik, inderawi dan jiwa adalah suatu hal yang wajar-wajar saja.
Sebab, materi yang menjadi bahan dasar pembentukan anorganis dan organisme, masih merupakan tanda Tanya besar, yang belum diketahui oleh manusia.
Pengertian materi dalam dunia ilmu pengetahuan terus berkembang. Ilmu alam klasik menggambarkan materi sebagai suatu yang tak dapat berubah. Materi itu terdiri atas bagian-bagia kecil, atom-atom yang khas sifatnya yaitu tidak dapat ditembus, materi itu tidak kontinyu, susunannya terdiri atas butir-butir.
Galilei, Huygens dan Newton masih berpendapat bahwa “massa” ialah data konstan, yang tetap sama baik kemarin, maupun kini dan esok, ruang dan waktupun konstan dan mutlak dapat dipakai sebagai ukuran mutlak yang tidak berubah.
Heisenberg yang mengembangkan teori “quantum” dalam fisika, menemukan faktor-faktor “relasi-tidak-pasti.” Ketika ia meneliti struktur intern atom yang dinamis itu dan dengan teliti sekali menentukan kecepatan masing-masing komponen (partikel dasar seperti proton, neutron, elektron dan sebagainya), maka kentaralah bahwa kepastian menentukan tempatnya, makin kabur kecepatannya.
Lalu Einstein mengungkapkan bahwa materi tersusun atas partikel-partikel kecil, sedangkan R.D. Broglie menampilkan bahwa materi menyerupai gelombang-gelombang cahaya / energi sangat berdekatan. Kadang-kadang dan ini bergantung pada tempat observasi, materi dapat dipandang sebagai cahaya / energi, kadangkala sebagai partikel-partikel dasar. (C.A. van Peursen; 1980: 148-149).  
Oleh karena itu, akhirnya Einstein menyimpulkan bahwa sumber primer dan sebenarnya dari “hakikat materi” bukanlah partikel-partikel dasar dan bukan pula cahaya / energi. Keduanya saling berubah dan menjadi yang lain, sehingga terbuktilah bahwa partiel-partikel dasar dan cahaya / energi adalah manifestasi bolak-balik dari suatu zat yang tidak terikat dan tidak bisa diketahui, yang kadang kala menampakan diri dalam bentuk cahaya / energi dan kadangkala dalam bentuk partikel-partikel dasar. Maka satu-satunya tugas ilmu fisika ialah untuk mempelajari manifestasi kembar dari suatu yang supra inderawi. (Ali Syariati; 1982: 106).
Berkenaan dengan kesimpulan Einstein seperti diungkapkan oleh Ali Syariati, maka Iqbal mempunyai kesimpulan: “saya percaya bahwa sifat terakhir dari hakikat materi” adalah spiritual. (Iqbal; 1966: 45).
b.     Manusia belum mampu membedakan antara jiwa dan roh
Dalam dunia filsafat diakui bahwa semua mahluk hidup baik tumbuh-tumbuhan (flora), hewan (fauna) dan manusia semuanya mempunyai jiwa. Aristoteles (384-332 SM) berpendapat bahwa ada tiga macam jiwa, yang bertingkat-tingkat tarafnya, yaitu taraf yang paling rendah dimiliki oleh jiwa flora, yang disebut “jiwa vegetatif”, setelah itu terdapatlah jiwa fauna yang disebut dengan “jiwa sensitif”, dan terakhir terdapatlah jiwa manusia, yang dinamakan dengan “jiwa intelektif”, yang mempunyai taraf kehidupan yang tertinggi. Dan sebagian taraf-taraf kehidupan tersebut didasarkan atas taraf-taraf daya kemampuan masing-masing jiwa tersebut, yaitu:
-           Jiwa vegetatif yang rendah itu hanya berkemampuan memperoleh dan mencernakan makanan dan berkembang biak.
-           Jiwa sensitif, disamping daya kemampuan yang dimiliki jiwa vegetatif tadi, dengan khusus berkemampuan: bernafas (perasaan), dapat bergerak dari tempat, dan dapat mengamat-amati.
-           Jiwa interaktif, selain jiwa vegetatif dan sensitive, mempunyai daya kemampuan yang khas baginya, yaitu kecerdasan dan berkemauan (W.A. Gemyan; 1986: 6). Kemudian dalam filsafat monisme kaum Neoplatonisme, Plotinus (tokoh utama kelompok tersebut) mengajukan konsepsi “emanasi” (pancaran, alfaidh) terjadi alam semesta. System metafisika yang dikembangkan oleh Plotinus, menyusun sebuah hirarki ke-Ada-an; dimana puncaknya “yang Tunggal”, yang berturut-turut memancarkan “roh” kemudian “jiwa”, “yang tunggal” (Tuhan, Brahma), yang tak “terumuskan”, memancarkan / mengalahirkan sebuah substansi “roh”, secara niscaya dari “roh” memancarkan / mengalirkan pula sebuah substansi ketiga yang disebut “jiwa”, dari “jiwa” memancarlah alam semesta, baik anorganis maupun keseluruhan kelompok. Dengan demikian “roh” berada dan terdapat dalam lingkungan “ilahi” / ketuhanan (yang Tunggal, Brahma, Tuhan), sedangkan “jiwa” berada dan terdapat dalam lingkungan alam semesta (anorganis dan organisme). (P.J. Zoetmulden; 1990: 14-18).
Selanjutnya, apabila kaum Hindu dan Kristen dalam filasafat Monismenya mempunyai konsep tentang keberadaan alam semesta melalui proses emanasi: yang Tunggal (Brahma / Tuhan – Roh – Jiwa – Alam semesta) anorganis dan organisme, sehingga Tuhan dan alam secara substansial mempunyai persamaan dan bahkan alam bisa kembali bersatu, berbeda dengan Islam dalam filsafat “Dualismenya”, mempunyai konsep bahwa Tuhan sebagai “Pencipta (Khalik)” tidak mempunyai persamaan apapun, baik substansinya, sifatnya maupun perbuatannya dengan alam semesta. (Qs: 42: 11). Tuhan dalam menciptakan alam semesta, baik anorganik maupun organisme, dengan “amir” (perintah / kekuasaan yang dimilikinya) cukup dengan perintah / firman: “jadilah! Maka menjelmalah”. (Qs; 36: 82). Organisme, baik flora, fauna maupun manusia mempunyai jiwa dan semua mahluk hidup (organisme) akan mengalami kematian. (Qs; 3: 185). Sedangkan organisme sejenis manusia, selain mempunyai jiwa, juga memiliki roh, yang esensinya berbeda dengan jiwa (Qs; 15: 28-29). Roh esensinya bersifat spiritual dan eksistensinya berbentuk kecakapan dan kemampuan dalam menerima 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar