Selasa, 17 Mei 2011

(AS); dan pada tahun 1987 mati terbunuh oleh agen-agen Yahudi Zionis AS) adalah sebagai berikut:
-         Studi keisiaman lahir, karena faktor kebutuhan usaha Kristenisasi dan missionaris yang ingin mengenal Islam sebagai suatu agama yang harus dilenyapkan di muka bumi, atau sekurang-kurangnya dihambat dari perkembangannya dan dilumpuhkan semangat ajararmya. Adalah wajar, kalau studi keislaman digabung dengan jurusaa perbandingan agama. Bagi mahasiswa yang hendak memasuki studi keislaman dianjurkan meneliti segi-segi kelemahan Islam yang akan dijadikan target caci-maki. Pandangan mereka selalu terarah pada aliran pemikiran Islam yang menyimpang, seperti: Syi'ah, Isrnailiyah, Ahmadiyah, Safyah, Bahaiyah dan sejenisnya. Jika mengadakan studi Al-Qur'an, Hadits, Fiqh dan dasar-dasar keislaman lainnya mereka bernada mencela. Serangan terhadap Islam adalah merupa­kan sasaran pokok, sedangkan mencari titik kelemahan Islam adalah merupakan sasaran akhir;
-         Studi keislaman, antara lain, karena faktor kebutuhan Amerika Se­rikat terhadap karyawan yang berwawasan luas tentang dunia Islam, baik segi politik, ekonomi, sosial, geografi dan Cara berpikir. Tujuan­nya agar mampu memberi pelayanan kemaslahatan negara, perusa­haan industri dan perdagangan yang bekerjasama dengan dunia Islam. Studi ini terpusat pada penelitian strategis yang secara langsung dapat menyentuh kepentingan mereka, seperti tentang struktur po­litik, sumber daya alam dan ekonomi, psikologi, interaksi-sosial dan agama. Studi semacam ini Baru di mulai setelah Perang Duania 11. Sejak itu, Amerika Serikat mulai mencurahkan mata anggaran untuk kepentingan pembelian buku-buku berbahasa Arab dan keislaman; mendirikan pusat-pusat penelitian yang dinamakan studi Timur Jauh dan Timur Tengah, termasuk di dalamnya studi tentang bangsa Israel, Armenia, Kibti, Turki, Persia, Habsyi dan Yunani modern. Studi ini juga diarahkan pada penelitian bahasa Arab setempat, bahkan sering diistilahkan dengan studi bahasa Mesir, Syria, Hijaz, Maroko dan Irak. Pokok-pokok studi ini bahkan semata-mata suatu dasar tanpa arah. Ia merupakan pokok studi yang menentukan arah kurikulum dan tipe mahasiswa yang akan dicetak sesuai dengan disiplin ilmu yang ada. Seorang guru besar muslim yang dibebani memberi pela­jaran pada bidang studi tersebut tidak memiliki wewenang mengubah. Ia terpaksa patuh mengikuti ketentuan yang telah ada. Tetapi adalah suatu kekeliruan yang fatal merendahkan martabat, dan memperkosa semangat jiwa keislaman, jika kita mematuhi sepenuhnya ketentuan yang telah digariskan oleh universitas;
-         Buku-buku standard berbahasa Inggris mengenai keislaman seba­gian besar adalah karangan orientalis, zending Kristen yang bernada dengki, penghinaan dan berupaya mengadakan pendangkalan imam baik pada tingkat kuliah atau pun doktoral. Buku-buku berbahaza Inggris karangan pemikir Islam, umumnya tulisan dari India dan Pakistan, itupun banyak sifatnya terjemahan sebagai konsumsi umat Islam, bukan konsumsi untuk non muslim. Jika dosen menggunakan buku-buku tersebut akan dianggap bersifat apologis, dan katanya kurang sistimatis.
Jika menggunakan hasil karya non muslim, selain tidak sistimatis, isinya banyak bersifat menghasut. Sebagai muslim, tentu akan mem­bela Islam pada kuliah yang diberikan, yang mengakibatkan kesan negatif pada pihak mahasiswa non muslim. Ada mahasiswa yang dapat menerima kntik yang dilontarkan oleh dosen muslim terhadap buku yang ditulis pihak Kristen atau Yahudi, tetapi kebanyakannya tidak demikian. Hampir dapat dipastikan, kurang menguntungkan seorang dosen muslim yang mendapatkan tugas mengajar studi Islam di universitas Amerika Serikat. la selamanya akan bertentangan dengan mahasiswa non muslim, buku-buku standar yang ada, majalah, surat-surat kabar, radio, TV dan bahkan sesama teman-­teman dosen non muslim yang diberi wewenang untuk menilai akti­pitas doses, dan akhimya timbullah kontradiksi dengan diri sendiri yang terlanjur telah menandatangani kontrak sebagai guru besar. Tentunya hanya bagi yang memiliki jiwa keislaman dart tanggung jawab sosial, yang dapat merasakan kerugian semacam ini. Tetapi bagi yang tidak mempunyai kesadaran tersebut, tentunya akan sejalan saia dan terus bekerjasama dengan mereka, walau harus mengkhianati keyakinannya. (Majalah Panjimas; 1986: 54-55)
Dari keterangan yang diungkapkan oleh Prof. Ismail Al-Farugi, seorang ahli yang mengepalai berbagai bidang studi keislaman selama bertahun-tahun di Amerika Serikat, dapat disimpulkan bahwa setiap mahasiswa muslim yang belajar studi keislaman balk untuk tingkat master atau doktor, telah di "brain wash" (cuci otak) oleh para dosen Kristen-Yahudi yang anti Islam, yang dilengkapi dengan buku-buku standar yang hampir seluruhnya ditulis oleh para orientalis Kristen dan Yahudi yang berisi racun bagi kaum muslimin.
Jadi adalah logis dan wajar, apabila para ilmuwan muslim yang belajar tentang Islam di perguruan-perguruan tinggi Barat-Kristen, menjadi fotocopy Kristen-Yahudi di negara-negara muslim, yang dengan rasa bangga membawa dagangan "pembaruan yang isinya tidak lain adalah "racun sekularisasi dan materialisasi", yang sangat berbahaya buat kaum muslimin.
Oleh karena itu peringatan-peringatan dari Igbal, Mohammad Natsir dan Ismail Faruqi, perlu menjadi bahwa perhatian dan pemikiran kaum mushmin.
Secara imam perintah untuk mengkristenkan dunia, diatur olah Kitab Injil Matius 28:19, yang berbunyi: "Karena itu pergilah, jadikan­lah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapak dan Anak dan Roh Kudus". Dengan landasan ini sejak awal kebang­kitan Kristen, para murid Yesus telah berda'wah keluar daerah Galilea seperti antara lain ke Cyprus yang dilakukan oleh Barnaba dan Paulus.
Pada abad-abad pertama usaha mengkristenkan dunia masih dila­kukan melalui methoda-methoda da'wah, sebab pada saat itu orang­-orang Kristen belum mempunyai pengaruh politik atau pengaruh di dalam pemerintahan. Mereka belum mendapat kemungkinan untuk memikul tanggung jawab politis. Berhubungan dengan itu pada umum­nya banyak tokoh-tokoh terkemuka dan kalangan Kristen menasehat­kan, supaya orang-orang Kristen jangan menjadi tentara, dan pada umumnya mereka bersikap menolak terhadap perang yang dilakukan pada waktu itu.
Sebagai contoh akan kita kutip di sini ucapan-ucapan beberapa ahli theologi Kristen pada abad-abad pertama. Origenes menulis: "Kita tidak akan ikut berperang bersama-sama kaisar sekalipun ia sendiri menghendakinya". Tertulianus memandang sumpah militer sebagai sumpah kepada iblis, dan ia menganggap bahwa "sakramen resimen" (yang dimaksud ialah sumpah seorang perwira kepada janjinya) tidak dapat digabungkan dengan sakramen Baptisan dan Perjamuan kudus. Cyprianus lebih tajam lagi ucapannya; ia menulis sebagai berikut: "Perbuatan jahat disebut keberanian, apabila dilakukan oleh atau atas nama negara. Bukanlah perkara yang baik, tetapi luasnya dan besar­nya keganasan, itulah yang membebaskan perbuatan-perbuatan ganas tadi, sehingga tidak dihukum".
Tetapi sejak masa Konstantin yang agung - ia yang memasukkan doktrin Trinitas pada Konsilii Necea pada tahun 325 - dan Theodosius, maka terjadilah perubahan yang besar. Agama Kristen menjadi agama negara. Menjadi warga-negara dan menjadi orang Kristen, kedua hal itu disamakan. Jabatan-jabatan tinggi di dalam negara dan angkatan perang dipangku oleh orang-orang Kristen. Pada waktu itu hampir tidak terdapat kesadaran-kesadaran yang kritis terhadap masalah perang. Di dalam kalangan Kristen, soal perang itu diterima tanpa menanyakan, apakah maksudnya dan apa pula alatnya.
Sebuah contoh yang jelas mengenai hal itu terdapat pada keputusan­keputusan Sinode di Arles pada tahun 314. Didalamkeputusan ini tidak terdapat kesadaran etis barang sedikitpun tentang masalah perang itu. Karena pedang pemerintah kini terletak dalam tangan orang Kristen, maka semangat dan kegenbiraan gereia gereja menjadi sangat besar. (J. Verkuyl, Etika Kristen, NN/3 BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983, hal. 170-171.)
Dengan demikian sejak awal agama Kristen baik di dalam Kitab Sucinya maupun melalui para pendetanya tidak berbicara tentang perang sedikitpun juga, bahkan para pendeta mereka banyak yang menentang masalah tersebut. Oleh karena itu tampilnya kaisar-kaisar Romawi seperti Konstantin dan Theodosius sebagai penguasa Kristen, maka pola yang ditempuh oleh kaisar-kaisar tersebut adalah pola Romawi jahiliah. Watak dan karakter Imperium Romawi yang diktatorial dan kolonial yang dimilikinya sebelum mereka menjadi penguasa Kristen tetap tidak berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar