Selasa, 17 Mei 2011

·           baik pada perdagangan biasa, menjadi tuan tanah, pemungut pajak dari rakyat, pemberi kredit dengan bunga tinggi (mindring / lintah darat), pegadaian dan pengedar candu. (Sartono Kartodirjo; 1992: 111).
Dari empat kelompok masyarakat Indonesia inilah, yang dikemudian hari menjadi pewaris peradaban Barat sekuler dengan ideology-ideologi besarnya seperti Komunisme, Nasionalisme, dan Kapitalisme.
Kemudian dalam sejarah pergerakan nasional, umat Islam lah yang pertama-tama tampil digelanggang pergerakan dengan organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 di Solo, Jawa tengah, yang dipimpin oleh haji Samanhadi. (Endang Saifuddin Anshani; 1981: 4).
Faktor-faktor utama yang mendorong lahirnya SDI ialah karena adanya tantangan-tantangan dari golongan-golongan non Muslim, seperti antara lain:
·           Dominasi ekonomi oleh golongan Cina (non pribumi), khususnya monopoli bahan-bahan batik.
·           Ekspansi Kristianisasi yang sangat mencolok, yang dilakukan oleh missi dan zendang Kristen (Khatolik dan Protestan) dengan bantuan sepenuhnya oleh penguasa kolonial Belanda.
·           Penghinaan-penghinaan terhadap Islam dan kaum Muslimin yang dilakukan oleh kaum kejawen, yang berpusat di Kraton seperti Solo dan Yogyakarta.
SDI yang mendasarkan perjuangannya dengan dasar Islam, telah menghimpun semua kekuatan kaum muslimin tanpa memandang suku dan golongan. Ia merupakan organisasi perjuangan rakyat Indonesia dalam menentang setiap bentuk ketidak-adilan, yang didorong semangat Islam. (A K Pringgodigdo, 1977; 4).
Berbeda dengan SDI, maka golongan kejawen, yang berasal dari kaum Priayi dan pegawai penguasa kolonial Belanda, pada 20 Mei 1908 mendirikan Budi Utomo, organisasi sosial-pendidikan yang bangga dengan kultur-Jawa-Hindu dan Budha dan bercita-cita membangun “Nasionalis-Jawa Raya” di nusantara ini; demikian antara lain isi tulisan Soewardi Soeryadaningrat (tokoh Budi Utomo), yang berjudul “Het Javaansch Nationalisme in de Indische Bewegnig”. Lebih jauh dari itu, mereka yang tergabung dalam organisasi Budi Utomo, yang didirikan pada 20 Mei 1908, bukan saja bangga menjadi penganut peradaban Barat, tetapi juga sangat benci terhadap Islam. Goenawan Mangoenkoesoemo (salah seorang tokoh / pimpinan Budi Utomo) pernah mengatakan bahwa berdirinya Budi Utomo bersama dengan tahun pemugaran candi Borobudur merupakan satu perlambang. Borobudur merupakan salah satu puncak prestasi bangsa Jawa di masa lalu, yang memperkaya diri dengan kebudayaan dan peradaban asing dengan tidak mengkhianati milik dan warisan kebangsaan (nasional). Mencari kekuatan di dalam kebudayaan dan dunia Jawa dalam perpaduan dengan dunia Barat, itulah hakikat pokok organisasi Budi Utomo.
Selanjutnya Goenawan Mangoenkoesoemo menulis dalam “Soebangsih Gedanboek Boedi Utomo” dengan judul “Ons Stadpunt dan Godsdientst”, dimana antara lain berbunyi: “….Dalam banyak hal agama Islam bahkan kurang akrab dan kurang ramah tamah, sehingga sering tampak bermusuhan dengan tabiat kebiasaan kita. Pertama-tama hal ini terbukti dari larangan untuk menyalin Qur’an ke bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa mungkin sekali memandang hal itu biasa saja. Tetapi seorang Nasionalis Jawa, berpikir dan merasakan hal itu sebagai penghinaan sangat rendah. Apakah bahasa kita yang indah itu kurang patut, terlalu profon untuk menyampaikan pesan Nabi? Apakah kita juga merasakan sangat sayang kepada Qur’an seperti buku-buku Jawa, yang menceritakan kebesaran Majapahit kepada kita? Apakah kita ikut mencucurkan air mata pada waktu membaca Qur’an seperti halnya pada waktu kita mendengar sejarah jatuhnya Majapahit? Qur’an memang sebuah buku yang kita simpan ditempat tersendiri di dalam lemari buku kita.
Jika kita berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh dipakai adalah bahasanya bangsa Arab. Gamelan kita nasibnya tidak lagi beruntung. Dia sudah dikutuk dan dibuang. Kita hanya boleh menunjukan kegembiraan kita dengan musik padang pasir, agaknya hanya terbangkah (rebana) yang mampu membawakan suara yang membuat hati Allah berkenan. Namun demikian dan bagaimanapun juga, disini Islam sebenarnya menderita kekalahan besar terhadap kita. Sebab gamelan tetap merupakan musik kesayangan bagi lingkungan muda maupun lingkungan tua.
Wayang cerita rakyat yang paling digemari, merupakan hal yang senantiasa menjijikan bagi penganut Islam sejati. Namun demikian, betapa kita masih menikmati permainan wayang sebagai bayangan roh! Betapa benar yang dipertontonkan Ki dalang kepada kita mengenai sifat baik dan jahat umat manusia dilayar putih.
Kemana larinya bakat dasar kita, hadiah Tuhan yang dahulu telah menciptakan dan membangun Borobudur dan banyak candi-candi lainnya? Bukanlah candi-candi itu juga dipersembahkan kepada Tuhan? Tidakkah bakat besar itu lenyap meninggalkan kita pada waktu Islam masuk tanah Jawa dengan membakar dan membunuh? Tidakkah bakat itu masih tetap tinggal dan berkembang di pulau Bali? Hasil-hasil karya yang banyak ahli seni dan pujangga kagum melihatnya.
Begitulah kita saksikan bagaimana tingginya nilai budaya Islam, ternyata kebudayaan itu tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak penghulu bisa saja menuntut supaya kita mengucapkan syahadat: “hanya ada satu Allah dan Nabi Muhammad Nabi-Nya”, tetapi dia tidak akan dapat berbuat apa-apa, bila cara hidup kita, jalan pikiran kita masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak”. (W Poespoprodjo; 1984: 27-39).
Oleh karena itu Harry J Benda berkesimpulan sebagai berikut: “kelompok intelektual yang beragama Islam, tetapi menerima pendidikan dan pengajaran Barat di Indonesia menamakan dirinya kaum Nasionalis, bukan saja mereka manusia fotocopy Barat, maka mereka mengambil sikap angkuh dan menghina Islam, suatu sikap yang serupa dengan sikap-sikap orang Barat-Kristen. Dan bahkan mereka melihat Islam unsur perusak-historis dari persatuan Indonesia yang lebih besar di masa lalu, sambil memuji kebesaran pra-Islam seperti Sriwijaya dan Majapahit, sebagai model yang benar tentang Indonesia, menurut aspirasi-aspirasi politik yang mereka anut”. (Harry J Benda; 1980: 84).
Sebagaimana diketahui Soekarno pada bulan Desember 1927 membentuk organisasi Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dengan beranggotakan PNI, SI, BU, Pasundan, Kaum Betawi, Sumatera Bond dan Studie-club-Studie-club PPPKI yang dipimpin oleh Soekarno dalam mengkampanyekan Nasionalisme mengumandangkan “persatuan bangsa yang terlepas dari dan tidak peduli terhadap prinsip-prinsip lain, seperti agama Islam. Untuk membangkitkan perasaan dan kebanggaan terhadap bangsa (Nasionalisme), Soekarno dalam pidato-pidatonya menyebutkan keindahan dan kekayaan “Ibu Indonesia” yang melahirkan pahlawan-pahlawan seperti Gajahmada, tokoh-tokoh zaman Hindu dan Budha, tetapi tidak pernah menyebutkan tokoh-tokoh Islam seperti Sultan Raden Fatah, Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa dan lain-lain. Untuk memantapkan dan mempertahankan persatuan ini, ia menekankan sekali pada pentingnya “cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk mengabdikan diri kepada tanah air serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan yang lain, seperti kepentingan agama Islam.
Dalam menghadapi rasa kebangsaan (Nasionalisme) yang berlebih-lebihan sebagaimana dilontarkan oleh Soekarno, Agoes Salim menulis di dalam majalah “Fajar Asia” No. 170, yang antara lain berbunyi; “Atas nama tanah air, yang oleh beberapa bangsa disifati oleh “Dewi atau Ibu”; bangsa Prancis dibawah pimpinan Napoleon menaklukan-menjajah segala negeri dan bangsa yang berdekatan dengan dia, menghina raja-raja orang dan menindas rakyat bangsa lain. Bahkan, atas nama tanah air masing-masing, kita lihat bangsa-bangsa Eropa merendahkan derajat segala bangsa luar Eropa, bagi meninggikan derajat bangsa Eropa atas segala bangsa luar Eropa.
Demikianlah kita lihat, betapa “agama”, yang menghambakan manusia kepada berhala tanah air itu mendekatkan kepada persaingan berebut-rebut kekayaan, kemegahan dan kebesaran; kepada membusukan, memperhinakan dan merusakan tanah air orang lain dengan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar