Selasa, 17 Mei 2011

demokrasi Pancasila, demokrasi nasional, dan sebagai­nya. Semuanya menggunakan istilah demokrasi dengan pengertian yang beraneka ragam.
Karena itu, UNESCO dalam penelitiannya akhirnya menyimpulkan bahwa ide demokrasi dianggap ambiguous atau mempunyai arti dua, sekurang-kurangnya ada `ambiguity" atau "ketidaktentuan" mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide tersebut, atau mengenai keadaan kultural serta historis yang mempunyai istilah, ide dan praktek.(Miriam Budiarjo; 1981: 50)
Demikian banyaknya pengertian dan praktek penyeleng­garaan demokrasi, sehingga setiap negara yang mau memper­gunakan istilah demokrasi bisa melakukannya menurut selera mereka masing-masing, tanpa terikat oleh satu ukuran atau standar apapun. Coba perhatikan perbedaan yang mencolok antara demokrasi parlementer yang berlaku di negara-negara Barat, dengan demokrasi rakyat yang berlaku di negara-negra komunis. Memang ada usaha-usaha untuk merumuskan teori demokrasi secara terinci, seperti yang dilakukan oleh antara lain International Commission offurists (organisasi ahli hukum internasional) dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965. Ketika itu, dinyatakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokrasi di bawwh Rule of Law ialah:
*        Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak induvidu, harus menentukan pula cara yang ditempuh untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
*        Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
*        Pemilihan umumyang bebas.
*        Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
*        kebebasan untuk berserikat, beroganisasi, dan beroposisi. 
*        Pendidikan kewarganegaraan. (Miriam Budiarjo; 1981: 60)
Tetapi, rumusan seperti ini hanya bersifat teori, yang tidak pernah ada negara yang melaksanakannya. Demikian juga segudang teori yang banyak diajukan oleh para penulis tentang demokrasi.
Jadi, teori kedaulatan rakyat dengan demokrasi sebagai primadonya, yang dewasa ini umumnya dianggap sebagai teori yang terbaik bagi sistem negara, ternyata hanya merupakan teori yang utopia, yang tidak pernah menjadi kenyataan di bumi ini. Demokrasi sampai hari ini masih merupakan isu politik belaka, karena realitanya bermacam-macam dan paling bertolak belakang.
Berdasarkan hasil penelitian C. Wright Mills, yang kemudian ditulis dalam bukunya The Power Elite (1956), dia menyimpul­kan Amerika Serikat sebenarnya bukan negara demokrasi. karena dikuasai oleh satu kelompok kecil yang memonopoli kekuasaan.
Mills melihat masyarakat Amerika Serikat sebagai suatu piramida, yang terdiri atas tiga lapisan. Lapisan teratas (A) merupakan elite kekuasaan. Lapisan tengah (B) menopang lapisan atas, dan lapisan bawah (C) adalah massa rakyat. Elite kekuasaan terdiri atas tiga golongan, yaitu tokoh dunia politik (antara lain presiden, anggota kabinet, pejabat teras, dan lainnya), dunia usaha (pemimpin perusahaan raksasa, bankir), dan dunia militer (antara lain, kepala staf angkatan bersenjata, yang bersama-sama menguasai perusahaan raksasa (termasuk perusahaan persenjataan).
Golongan elite kekuasaan sangat terpadu sifatnya, homogen, dan eras berpautan. Pandangan hidup mereka menunjukkan banyak persamaan satu sama lain. Kebanyakan mereka berasal dari golongan profesional dan bisnis, yang mempunyai latar pendidikan sama (Ivy League), agama yang sama (Protestan), dan umumnya berasal dari daerah perkotaan Pantai Timur Amerika Serikat. Golongan atas ini, selain menguasai kebanyakan sumber kekayaan, juga membuat semua keputusan dan kebijakan yang penting, termasuk yang menyangkut masalah perang dan damai.
Lapisan kedua dinamakan "lapisan kekuasaan menengah" (middle level of power), yang terdiri atas senator, anggota Kong­res, pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan, Serikat buruh, partai dan -sebagainya. Lapisan ini paling maksimal dapat memveto keputusan yang telah diambil oleh lapisan atas, tetapi tak dapat memprakarsai masalah yang penting. Lapisan ini tidak mempunyai kekuasaan politik yang menentukan.
Lapisan terbawah dalam hierarki ini adalah rakyat jelata, massa yang melarat, apatis, tak terorganisasi, dan tak berkuasa. Partisipasi massa rakyat sangat terbatas. Begitu pula ungkapan pendapat umum. (Miriam Budiarjo; 1983: 23-24)
a.     Hak Asasi Manusia
Perlu diketahui, pengertian hak-hak asasi menurut pandangan Islam berbeda dengan pengertian hak-hak asasi menurut pandangan Barat. Sudut pandang Barat pada umumnya dapat disebut bersifat anthroposentris, dengan pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia adalah titik tolak semua pikiran dan perbuatan. Sebaliknya, sudut pandang Islam bersifat theosen­tris sadar kepada Allah. Di sini, yang mutlak adalah yang terpenting, sedangkan manusia itu ada dan hadir hanya untuk mengabdi kepada Maha Pencipta dan Mahakuasa yang merupakan satu-satunya yang menopang mental dan spritual­nya, menjamin perwujudan aspirasi-aspirasinya dan kemung­kinan transendennya. Semua inilah yang merupakan dasar perbedaan yang tegas di antara pandangan Barat dengan Islam. Tradisi kemerdekaan Barat tampak dengan jelas di dalam piagam-piagamnya mengenai Hak-Hak Asasi manusia, antara lain yang terkenal: The Bill of Rights sebagai akibat meletusnya revolusi Inggris pada tahun 1689. The Bill of Rights diresmikan oleh negara bagian Virginia Amerika Serikat pada bulanJuni 1776. Ini merupakan deklarasi kemerdekaan yang dikuman­dangkan oleh tiga belas negara bagian Amerika Serikat pada bulan Juli tahun 1776. Yang terpenting lagi, The Bill of Rights masuk dalam Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1789. The Declaration of Rights of Men and Citizenship yang diaju­kan oleh Sidang Konstituante Perancis pada tahun 1789, yang kemudian dialihkan kata demi kata ke dalam Konstitusi Revolusioner dalam tahun 1791 dan kemudian sekali lagi dalam
waktu belakangan dimasukkan ke dalam Konstitusi Soviet pada tahun 1936. Semuanya itu berada di dalam tradisi yang sama. Di dalam tradisi Barat ini, kita melihat bahwa hak-hak asasi manusia tidak ada kaitannya dengan hak manusia sejak lahir yang tak dapat dipisahkan dari dirinya. Orang-orang yang telah mempelajari pertumbuhan kebudayaan dan kultur Barat dapat melihat bahwa yang ditekankan adalah sebuah perspekti: "anthroposentris" mengenai nasib manusia. Setiap kali pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia dibuat. hak in.: dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan hak-hak tersebut oleh otoritas sekuler seperti negara atau kekuatan yang sedang menguasai negara.
Berbeda sekali dengan pendekatan Barat, strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kita kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas kesadaran keagamaan yang terhujam di dalam hati. pikiran. dan jiwa para penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat "theosentris." Terlebih dahulu, seorang manusia harus mempercayai doktrin utama: "Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah", sebelum ia dapat mengharapkan untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Yang ditekankan di dalam Alquran adalah menjamin transformasi kualitas kesadaran manusia. Manusia disuruh untuk hidup dan bekerja di atas dunia ini dengan kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhan kepada kehendak Allah. Pada akhirnya, Islam membenarkan tradisi kepada kehendak Allah. Islam juga membenarkan tradisi besar perkembangan lembaga agama universal, tradisi yang menurut. Alquran disempurnakan di dalam misi nabi yang terakhir melalui firman Allah yang disampaikan kepadanya dengan proses wahyu Ilahi.
Karena itu, jika dipandang sekilas, di dalam Islam tampaknya manusia tidak mempunyai hak-hak asasi atau kemerdekaan-kemerdekaan menurut pengertian, kepercayaan dan praktek manusia Barat. Pada dasarnya, seseorang yang beriman hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas­tugas kepada Allah, karena ia hanya mematuhi hukum-Nya Hak hak manusia lain yang diakuinya bersumber dari tugas‑tugasnya yang pokok untuk mematuhi hukum-hukum Allah. Namun secara paradoks, di dalam tugas-tugas inilah terletak semua hal dan kemerdekaannya. Seorang manusia mengakui hak-hak manusia yang lain karena hal ini adalah sebuah kewajib­an yang dibebankan kepadanya oleh hukum agama untuk mematuhi Allah, nabi, dan Para pemimpin yang dipilih dan dipercaya untuk mengatur urusan-urusan negara. Di dalam setiap perbuatan seseorang yang beriman, hubungannya yang utama adalah kepada penciptanya. Melalui Yang Maha Pencipta inilah, manusia mengakui hubungannya dengan semua manusia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar