Selasa, 17 Mei 2011

·           Nilai ilmu (filsafat, sains, mistik dan kehidupan sehari-hari), disebut “benar (hak) dan salah (bathil).
·           Nilai hukum, disebut “boleh (halal) dan terlarang (haram)”
·           Nilai etika, disebut baik (ma’ruf) dan buruk (munkar)”
·           Nilai estetika, disebut “indah (jamil) dan jelek (qabih).
Dan nilai-nilai tersebut memberi batasan-batasan dalam menentukan kebebasan manusia, agar hidup lebih bermakna.
Lebih jauh dari itu, manusia tidak mungkin hidup tanpa lingkungan hidupnya (ekosistem), baik yang berbentuk organisme maupun non organis. Tidak ada suatu kesatuan organisme, baik flora, fauna maupun manusia, yang dapat berlangsung hidup atas dirinya sendiri tanpa ekosistem (Soemitro Djojohadikusumo; 1980: 67-68).
Faktor utama yang mengancam kelestarian lingkungan hidup (ekosistem adalah kemajuan teknologi, kemewahan dan keserakahan. Dengan teknologi manusia telah mengubah ekosistem alami menjadi ekositem buatan (man-made environment). Dengan ekosistem buatan itu, maka ekosistem tersebut mengalami perubahan dan rusak, baik yang berkenaan dengan fauna, flora, tanah, air, udara, mineral, energi, maupun iklim. Sedang kemewahan dan keserakahan dapat memacu penggunaan teknologi secara maksimal, yang berakibat eksploitasi sumber daya alam secara semena-mena dan pencemaran ekosistem tak terkendali (Muhammad Suryaini et.al; 1987: 6-8).
Oleh karena itu hak kebebasan tanpa batas yang sekarang dilakukan oleh kaum sekuler (Komunisme, Nasionalisme, Kapitalisme) terhadap ekosistem, akan mengancam kehancuran global kehidupan di planet bumi ini.
Akhirnya, prinsip ketiga yang membangun sistem Kapitalisme disebut Kapitalisme saja. Kapitalisme yang didirikan atas pondasi individualisme dan liberalisme mempunyai konsepsi filsafat bahwa pengelolaan produksi berada ditangan perorangan dan mencari keuntungan/laba dengan persaingan bebas, serta dengan jargon “dari modal yang sekecil-kecilnya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya”. Dari paham semacam ini, nasib kaum pekerja dan konsumen sangat ditentukan oleh kaum Kapitalis, sebagai akibatnya pertentangan kelas dan kecemburuan sosial akan senantiasa timbul dalam masyarakat. Pemerataan pendapatan ekonomi tidak akan pernah terwujud dan keadilan sosial akan hanya menjadi mimpi belaka.
Dalam skala global, negara-negara Kapitalis-kaya senantiasa manipu dan memeras negara-negara berkembang, sehingga pinjaman yang diberikan kepada negara-negara berkembang, bukan saja tidak sesuai dengan jumlah nominal pinjaman, tetapi juga setiap 1 Dollar AS yang masuk ke negara-negara berkembang sebagai penerima pinjaman, maka 3 dollar AS yang kembali ke negara-negara Kapitalis sebagai pemberi pinjaman.
Kemudian konsepsi filsafat Kapitalisme, yang telah kami uraikan secara sederhana, maka sekarang akan kita tampilkan dalam realitas kehidupan di planet bumi nin.
Sebagaimana dimaklumi bahwa negara-negara Kapitalis-kaya telah menggunakan sumber daya alam seperti emergi dan mineral sebanyak 80% dari produk dunia (Edward Goldsmith; 1980: 105). Dan dengan penghidupan yang berlimpah-limpah sehingga tiap jiwa rata-rata telah mengkonsumsi hampir 2.200 pound gandum tiap tahun, sedang di negara-negara berkembang cukup hanya 400 pound. Padahal diketahui pula bahwa hanya sepertiga penduduk dunia yang tinggal di negara-negara Kapitalis kaya (Soemitro Djojohadikusumo; 1977: 29).
Kelaparan yang dewasa ini memimpin negara-negara berkembang, menurut ahli makanan dunia George Bergstorm bukan semata-mata disebabkan berkurangnya produksi pangan dunia, tetapi justru sebagian besar dikarenakan distribusi yang tidak adil (Paul R Echrilch et.al; 1981:22). Negara-negara Kapitalis kaya hanya mau memberi bantuan berbentuk pinjaman dengan bunga kepada negara-negara berkembang, kurang dari 0,7% dari pendapatan nasional mereka (Soemitro Djojohadikusumo; 1977: 68). Jadi bantuan yang demikian kecilnya dari negara-negara Kapitalis-kaya bukan berbentuk hibah atau cuma-cuma, tetapi berbentuk pinjaman dengan bunga yang harus dibayar dikemudian hari oleh negara-negara berkembang.
Karena negara-negara pemberi pinjaman itu adalah negara-negara Kapitalis-kaya, maka prinsip-prinsip Kapitalisme dalam memberi pinjaman modal kepada negara-negara berkembang dipergunakan sebaik-baiknya. Prinsip Kapitalisme dalam dunia ekonomi yaitu modal ditanam dengan harapan kembali bersama-sama dengan keuntungan yang setinggi-tingginya. (Roderik Martin; 1990:193).
Akibat dari bentuk pinjaman model semacam itu, maka perdagangan antara Negara-negara berkembang dengan Negara Kapitalis kaya bukan dapat memajukan meningkatkan ekonomi Negara-negara berkembang, tetapi malah mendorong Negara-negara berkembang senantiasa mengalami defisit neraca pembayaran mereka. Hal itu disebabkan antara lain sebagai berikut:
·           Hubungan perdagangan yang terjadi antara Negara berkembang dengan Negara-negara Kapitalis kaya, yang timbul dalam suatu situasi perdagangan internasional yang monopolis, cenderung memperlemah tingkat harga bahan mentah primer yang diekspor oleh Negara-negara berkembang ke Negara-negara Kapitalis kaya. Menurut nilai tukar (term of trade) bagi Negara-negara berkembang jelas mengakibatkan efek negative terhadap posisi neraca pembayaran secara keseluruhan. Kerugian yang diderita sebagai akibat merosotnya term of trader ini pada tahun 1951-1966 di Amerika Latin, yang ditaksir oleh U.N Economic Commision for Latin America dan International Monetary Fund (IMF), adalah sebesar 26,4 milyar dollar AS pada nilai konstan tahun 1950.
·           Dalam hal modal asing menguasai hampir seluruh sektor yang paling danamis didalam ekonomi Negara-negara berkembang, maka repatriasi keuntungan secara relatif sangat besar. Selama periode 1946-1967, perbandingan antara modal yang ditransfer ke luar negeri (ke Negara-negara Kapitalis kaya) dan modal yang masuk ke Negara-negara Amerika Latin (Negara-negara berkembang) adalah sebesar 2,7:1. ini berarti bahwa setiap 1 dollar AS yang masuk diikuti dengan 2,7 dollar AS yang keluar. Perbandingan itu sesudah tahun enam puluhan yang diperkirakan menjadi dua kali lipat, yaitu 5,4:1.
·           Sebagai akibat proses yang disebut dalam nomor a dan b, timbullah kekuatan akan “pinjaman dari luar negeri” yang lebih besar lagi. Dalam hal ini pinjaman luar negeri yang masuk, sebenarnya digunakan untuk menutupi lobang yang telah dibuat pihak asing (Kapitalis kaya) di Negara-negara berkembang itu sendiri, sementara nilai riil pinjaman luar negeri yang dipercayai tidaklah sebesar nilai nominalnya. Dalam perhitungannya, jumlah pinjaman yang masuk ke Negara-negara Amerika Latin (Negara-negara berkembang) pada tahun enam puluhan berkisar hanya sebesar 54% dari nilai nominalnya. Angka ini diperkirakan menjadi 38,3% jika diperhitungkan bahwa banyak pinjaman luar negeri ini dibayarkan dalam bentuk uang lokal, sehingga pada hakikatnya negara-negara berkembang justru memberi sumbangan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, WTO yang memberi pinjaman kepada Negara-negara tersebut. (Sritua Arif; 1984: 29-30).
IMF (International Monetary Fund) adalah satu lembaga keuangan internasional, yang didirikan pada tahun 1944 dan beranggotakan 182 negara dengan kebijakan keputusannya ditentukan berdasarkan jumlah pemilikan saham dengan ketentuan 85% setuju. Pemilik saham terbesar adalah G-7, yaitu Negara-negara Kapitalis kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Kanada, Jerman, Prancis dan Italia; dan Negara-negara tersebut menguasai 45%. Dari 45% suara itu, Amerika Serikat memiliki 18%. Oleh karena itu IMF tidak mungkin dapat mengambil suattu keputusan tanpa persetujuan Amerika Serikat.
Kemudian saham-saham yang dimiliki G-7 berasal milik Trans-National Corporation (TNC) yaitu perusahaan-perusahaan Kapitalis raksasa di Negara-negara tersebut. Karenanya dominasi G-7 di IMF secara hakiki adalah dominasi TNC terhadap IMF. Sedangkan watak TNC yang Kapitalis senantiasa mencari keuntungan, dan tidak peduli apakah Negara-negara berkembang yang mendapatkan pinjaman dari TNC / IMF / G-7 bangkrut atau untung. Bukti dari Negara-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar