Selasa, 17 Mei 2011

Dengan alasan "tugas suci" untuk mengkristenkan dunia, sebagai­mana diperintahkan oleh Kitab Suci Injil, dijadikan dalih oleh para kaisar Romawi-Kristen untuk meluaskan kekuasaannya, untuk menegakkan "Pax Romana" dengan menggunakan tentara dan perang. Da'wah dengan lisan telah berubah menjadi da'wah dengan perang.
Konfrontasi pertama antara tentara Romawi-Kristen di bawah pimpinan Raja Heraklius dengan tentara Islam di bawah pimpinan Khalifah Umar Ibnul Khattab, terjadi pada pertempuran di tepi sungai Yarmuk, sebuah anak sungai Yordan, pada tanggal 20 Agustus 636. Pasukan Romawi-Kristen terhadap serangan-serangan tentara Islam itu tidak mempunyai arti biar sedikit pun juga, sekalipun para paderi mereka rajin bernyanyi dan berdo'a sambil mendukung salib. (Phillip K Hitti; 1963: 72-73)
Peran raja-raja Romawi-Kristen sebagai penguasa Kristen yang melakukan Kristenisasi dengan menggunakan tentara dan senjata menjadi preseden buat dunia Kristen untuk melakukan ekspansi dan kolonialisasi di kemudian hari.
Preseden ini tambah kuat dengan lahirnya seruan "Perang Salib" yang di kemukakan oleh pidato Paus Urbanus II pada tanggal 26 Nopem­ber 1095 di Clermon Perancis. Dengan alasan untuk mengunjungi Kubur Suci dan merebutnya dari orang-orang kafir serta menundukkan mereka itu, menggugah umat Kristen seluruh Eropa untuk melakukan Perang Salib, sehingga pada tahun berikutnya 150.000 tentara telah berkumpul di Konstantinopel. Dengan menaklukkan kota-kota Edassa, Tarsus, Antiochia dan Aleppo dan tahun 1098, maka pada tanggal 7 Juni 1099, tentara Kristen telah berada di muka pintu gerbang kota Yeru­salem. Tentara Islam yang mempertahankan kota Yerusalem berjum­lah 1.000 akhirnya tidak mampu menahan serangan 40.000 tentara Kristen, sehingga pada tanggal 15 Juli 1099, jatuhlah kota itu ke tangan tentara Kristen dengan melakukan pembunuhan massal secara mem­babi-buta, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, semuanya menjadi korban kebiadaban dan kebengisan. Tumpukan kepala dan kaki serta tangan tampak di jalan-jalan dan di tanah lapang kota itu.
Di bawah pimpinan Raymond dari perancis, Bohemund, Bouderijin, Godfried dan Tancred, tentara Kristen yang menang itu mendirikan negara-negara Kristen Latin di Syria, Palestina dan sekitamya.
Pada tanggal l Juli 1187 tentara Islam di bawah pimpinan Shalahud­din Al-Ayyubi (Saladin) melakukan revan dengan manaklukkan tentara Kristen (Salib) di kota Tiberias; yang kemudian menyusul jatuhnya kota Hittin dengan menawan lebih dari 20.000 tentara Kristen, termasuk di dalamnya Guy de Lusignan, raja Yerusalem. Dan pada tanggal 2 Oktober 1187 kota Yerusalem jatuh ke tangan tentara Islam.
Jatuhnya Yerusalem itu menimbulkan keguncangan yang besar di Eropa. Frederik Barbarossa (Kaisar Jerman), Richard Lion Heart (raja Inggris) dan Philip Augustus (raja Perancis), ketiga-tiganya merupakan raja-raja yang paling berkuasa di Eropa, semuanya bangkit menyatakan Perang Salib dengan mengerahkan pasukan mereka masing-masing dalam jumlah yang lebih besar dari Perang Salib pertama. Perang Salib ketiga ini berlangsung dari tahun 1189-1192.  
Pertempuran yang paling hebat antara tentara Kristen dengan tentara Islam terjadi di sekitar kota Accon, mulai dari tanggal 27 Agus­tus 1189 sampai tanggal 12 Juli 1191 di mana akhirnya tentara Islam kalah. Richard Lion Heart sebagai panglima tentara Kristen yang menang perang, telah memerintahkan membunuh 72.000 tawanan (yang terdiri atas kaum muslimin). Suatu perbuatan yang jauh berlainan waktu itu Shalahuddin menuntut tebusan dengan uang mas, akan tetapi ribuan orang miskin tidak dapat menebus dirinya. Atas permintaan kakaknya, Shalahuddin membebaskan puluhan ribu tawanan-tawanan perang itu dan atas permintaan Patriarch dilepaskan pula sekumpulan orang-orang tawanan-tawanan lainnya. Setelah ia merasa, bukan hanya kakaknya dan Patriarch itu saja yang pantas berbuat baik dan bermurah hati, tetapi ia pun harus berbuat begitu, maka dilepaskanlah pula kebanyakan tawanan yang masih sisa.
Revan untuk kedua kalinya atas kekalahan pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi dilakukan oleh pasukan Al-Malikuz Zahir (Bybars) dari Mesir. Tentara Islam di bawah pimpinan Al-Malikuz Zahir dapat memberi pukulan yang mematikan tentara Kristen (Salib) untuk selama-lamanya. Pada tahun 1253 tentara Islam merebut kota Kerak; dan berturut-turut kota Caesarea, Jaffa, Antiochia jatuh ke tangan kaum muslimin. Tentara Kristen yang merupakan garnisun Antiochia sebanyak 16.000 orang mati terbunuh dan kira-kira 100.000 rakyat menjadi tawanan. Setelah kekalahan ini Antiochia tidak pemah timbul kembali.
Pengganti-pengganti Al-Malikuz Zahir pada tahun 1291 telah me­naklukkan kota Accon; tentara Kristen Tempel yang mempertahankan kota itu dibunuh semuanya. Kota-kota seperti Tyrus, Sidon dan Beirut jatuh pula pada tahun itu juga ke dalam kekuasaan tentara Islam. Tindakan pembunuhan besar-besaran terhadap tentara Kristen yang telah dilakukan oleh pengganti Al-Malikuz Zahir adalah merupakan tindakan "qishash" (pembalasan uang setimpal) atas kekejaman tentara Kristen yang telah membunuh tentara Islam di zaman kekalahan tentara Shalahuddin Al-Ayyubi. Dan sejak jatuhnya kola-kota tersebut ke tangan penguasa Islam dan tentara Kristen terus terdesak ke arah laut, maka berakhirlah pendudukan tentara Kristen di Timur Tengah untuk beberapa abad lamanya. (Phillip K Hitti; 1963: 227-236).
Drama kekerasan dan kekejaman tentara Kristen (Salib) selama hampir 200 tahun, menjadi pola kekejaman yang dilakukan oleh tentara Kristen Ferdinand di Spanyol. Sebagaimana diketahui bahwa sejak tentara Islam di bawah pimpinan Thariq bin Ziad mendarat di bukit-­bukit batu Gibraltar dengan kekuatan 12.000 orang tentara, maka pada tanggal 19 Juli 711 terjadilah pertempuran antara tentara Islam dengan tentara Kristen di bawah pimpinan raja Roderik, sejak itu praktis Spanyol berada dalam kekuasaan kaum muslimin, sampai tahun 1492.
Pada tanggal 2 Januari 1492 tentara Kristen memasuki kota Granada, setelah bertempur melawan tentara Islam dengan sengit dan mema­kan waktu yang lama. Raja dan permaisuri Kristen, Ferdinand dan Isabella, tidak mau memegang teguh syarat-syarat yang telah ditetapkan ketika kota itu menyerah. Dalam tahun 1499, di bawah pimpinan Kardinal Himenes de Cisneros, dimulailah gerakan yang memaksa orang-orang Islam untuk masuk Kristen. Pertama-tama Kardinal tersebut berusaha menyingkirkan semua buku-buku bahasa Arab yang menguraikan agama Islam dengan jalan membakamya. Pembakaran buku-buku itu dilakukan di kota Granada. Inquisition (Mahkamah Pengadilan Katholik) kemudian diadakan dan menjalankan tugas‑tugasnya dengan giat sekali. Semua orang Islam yang masih tinggal di negeri itu diadili: memeluk agama Kristen atau menolaknya dengan segala penderitaannya.
Pada tahun 1504 dikeluarkanlah"pemyataan raja”, yang mengharus­kan semua kaum muslimin memeluk agama Kristen. Pada tahun 1556 raja Philip 11 mengumumkan "undang-undang yang mewajibkan kaum muslimin yang masih tinggal di Spanyol untuk membuang seketika itu juga: bahasanya, agamanya, adat-istiadatnya dan cara hidupnya".
Perintah pembuangan yang resmi ditanda-tangani oleh raja Philip III dalam tahun 1609, perintah mana berarti pengusiran semua kaum muslimin darn Spanyol secara paksa. Menurut taksiran maka antara jatuhnya Granada dan 25 tahun kemudian, jumlah kaum muslimin yang dihukum mati atau diusir berjumlah 3.000.000 (tiga juta) orang. Bukan hanya kaum Muslimin yang disapu bersih dari Spanyol oleh tentara Kristen, tetapi semua peninggalan kebudayaan Islam praktis dimusnahkan, kecuali sebuah Mesjid besar di Cordova (Phillip K Hitti; 1963: 205-207).
Rasa superioritas umat Kristen Eropa, sebagaimana diungkapkan di muka, ditambah dengan pengalaman Perang dan sejak kekaisaran Romawi-Kristen, Perang Salib clan Perang Spanyol, yang semuanya dilakukan dalam rangka "pengkristenan dunia", membentuk satu watak dan kepribadian umat Kristen Eropa sebagai umat "imperialis dan kolonialis". Dan rasa benci dan dendam terhadap umat Islam, seperti terbuku dari fakta-fakta sejarah, adalah merupakan sikap permusuhan yang terus-menerus dari sejak abad VII sampai dengan abad  ke-XVI. Jadi imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan oleh umat Kristen Eropa, sejak akhir abad ke-XVI hingga selanjutnya bukan karena penaklukan laut oleh Eropa, sebagaimana dikemukakan oleh Arnold Toynbee, tetapi berkat ajaran dan didikan Kristen terutama "Perang Salib, yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya itu.
Kita akan membuktikan lebih lanjut bahwa imperialisme, kolonia­lisme dan Kristenianisme dilakukan oleh umat Kristen Eropa adalah merupakan "Tri Tunggal Tugas suci" mereka. Dr. Th. Muller Kruger, guru besar Sekolah Tinggi Theologi Kristen di Jakarta, menulis antara lain: "Tentulah orang orang Portugis ini bukan saja ingin untuk mene­mukan negeri-negeri lain melainkan mereka ingin pula "menaklukkan negeri-negeri itu", serta mencari pula kekayaan-kekayaan dunia ini. Terutama yang dicari rempah-rempah dari 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar